10 Kekeliruan Berkomunikasi

[Parenting] Infografis Kekeliruan Komunikasi dari Seminar Elly Risman

Hihi, pernah mengikuti seminar Ibu Elly Risman Musa, S. Psi. itu menurut saya suatu keberuntungan banget. Karena seminar itu, saya jadi belajar terus gimana cara komunikasi yang enak sama Naia. Ikutan seminarnya juga udah lama sih, tapi ada yang masih terus diingat di kepala ini. Yaitu mengenai kekeliruan-kekeliruan orangtua dalam berkomunikasi dengan anak.

Ringkasan seminar itu juga sudah saya posting di blog sebetulnya. Tepatnya di postingan yang ini. Tapi karena udah lama banget, jadi udah kelewat gitu aja deh postingannya. Nah, kemarin saya dapet lagi sharing dari grup WA. Materi yang sama yang didapat dari sumber yang sama namun dari seminar yang lebih baru. Setelah saya baca, isinya sama persis. Yasudah deh saya iseng membuat infografisnya. Ini saya buat sebetunya supaya saya bisa lebih mudah mengerti dan nempel banget di kepala. Saya lebih mau membaca dengan tampilan yang kayak begini soalnya, hehe. Semoga infografis ini bermanfaat yaaa.

Yuk liat infografisnya! ^^

Naia Belajar Tanggung Jawab

Akhir-akhir ini saya mulai mengajarkan ke Naia kalau sedang main ingin beranjak ke permainan selanjutnya, dia harus merapikan mainannya saat ini terlebih dahulu. Bukan obsesi supaya rumah rapi ya, tapi ya biar dia belajar bertanggung jawab. Pun saat dia ingin membawa sesuatu saat saya pergi. Saya memberinya tanggung jawab penuh akan apa yang dibawanya itu.

Saat weekend kemarin misalnya, dia lagi seneng-senengnya banget tidur sama Soothe & Glow Seahorse™ (sekarang dinamakan kula oleh kami, hihi) yang didapet dari Fisher-Price waktu itu, jadilah saat ingin menginap di rumah eyang atau utinya dia selalu ingin membawanya. Yasudah, saya ijinkan asal dia ingat untuk membawa pulang kembali. Di rumah utinya si Kula jadi ketemu sama saudaranya deh, hahaha. Alhamdulillah sebelum pulang dia ingat sekali apa yang dibawanya saat itu. Dia mencari2 dimana si kula berada. Sebelumnya saat dia lagi seneng banget main puzzle juga gitu. Puzzle-nya dibawaa terus sampai kemanapun. Sampai sekarang juga masih sih. Kalau saya sedang ingin mengajaknya ke acara yang saya nikmati ya dia membawa puzzle-nya untuk dimainkan agar tidak bosan.

Kula dan Saudara di rumah Uti
Kula dan Saudara di rumah Uti

Nah, tapi di rumah masih belum bisa merapikan mainannya, gimana donk?

[Parenting] Jadi Kamus

Pernahkah mengalami anak malah marah atau mengamuk saat kita membantunya? Padahal sebelumnya dia yang mengajukan pertanyaan atau meminta perhatian kita dalam masalah yang dihadapinya.

Bisa jadi itu artinya dia cuma mau kita jadi “kamus”. Apa tuh maksudnya jadi kamus? Kita sendiri kalau sedang membutuhkan kamus, yg diharapkan apa? Kita jadi tahu dan jadi lebih mengerti sesuatu. Namun, kamus tidak bisa serta merta ikut campur dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Nah, persis deh itu yg diinginkan anak.

Baruu aja beberapa hari yang lalu saya mengalami ini. Naia (anak saya yang berumur 2,5 tahun) sudah hampir berputus asa dengan mainan mobil yang gk pas disusun di tempatnya (padahal kalo menyusun secara benar, mobil-mobil itu bisa masuk semua ke tempatnya). Nah, dia mencolek saya dan bertanya, ‘mana tempatnya?’ katanya. Dodolnya, saya sama sekali tidak berpikir kalau cuma dilibatkan sebagai kamus, jadi saya memberitahu solusinya sambil membukakan jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi Naia bukannya seneng malah ngamuk. Mobilnya jadi malah berantakan semua karena dikeluarkan lagi dari tempatnya 🙁

Saya diam saja menunggu dia tenang sendiri. Setelah tenang, tidak lama dia main lagi dan masalah yang sama kemudian muncul. Dia bertanya lagi pada saya.

Kali ini saya sadar kalau saya cuma dibutuhkan sebagai kamus, jadi ya saya hanya berkata “mobilnya gk muat karena ada 2 tempat kosong yg berjauhan, harusnya sebelahan supaya mobilnya muat”, sudah. Saya hanya memberitahu demikian tanpa ikut campur dalam penyelesaian masalahnya. Dia lalu mencoba lagi sambil mencari cara terbaik agar tempat yang tersedia bisa bersebelahan. Berhasil! Dan dia jadi seneng bangettt.

Sayanya lebih senang karena udah engeh harus gimana dan senang krn dia mau berusaha nyelesein masalahnya sendiri.

Begitu juga saat dia sedang bermain puzzle. Memang bukan puzzle yang sulit banget sih, tapi lumayan lah untuk anak seusianya, 2 tahun 6 bulan. Dia cuma mau saya jadi “kamus” lagi. Nanya ini gimana itu gimana cuma agar saya mengarahkannya saja, sisanya dia selesaikan sendiri. Lagi-lagi dia puas dan senang sekali saat berhasil menyelesaikan sekian banyak puzzle yang dia punya. Saya sendiri sampai heran dan kagum akan kegigihannya menyelesaikan ke-14 puzzle yang dia punya.

Puzzle

Dengan hanya menjadi “kamus” begini untuk anak, sedikit banyak kita telah mengajarkan kemandirian dan juga rasa percaya dirinya. Kemandirian menyelesaikan masalah tanpa bergantung pada orang lain dan rasa percaya diri karena sudah berhasil menyelesaikan masalahnya SENDIRIAN. ^^

Sabtu Bersama Bapak

Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.

Iya, sih. Tapi, mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.

Dari dulu saya memang suka sekali untuk mengambil pelajaran dari kisah2. Bukan kisah yang berat2 seperti kisah Einstein atau ilmuwan lainnya sih *walaupun pada akhirnya tertarik juga membaca kisah hidup mereka, hehe*, novel remaja atau kumpulan cerpen saja sudah cukup. Karena jujur saja, waktu saya remaja, saya mendapat banyak pelajaran dari cerpennya Asma Nadia. Pelajaran bagaimana menghargai orang, pelajaran mengenai islam lebih lanjut, dan masih banyak pelajaran lainnya. Karena ini pula saya suka banget sama “Teka-teki Terakhir“nya Annisa Ihsani yang sarat akan ilmu Matematika.

Berhubung saya udah punya anak, saya lalu jadi concern banget sama segala sesuatu yang berbau parenting atau pengasuhan. Sejak Naia lahir, semangat saya jadi sangat terpacu untuk mempelajari segala hal mengenai pengasuhan, baik dari internet maupun membeli buku2 fisiknya. Saya sampai ikut gabung di milis parenting, subscribe di website parenting juga, sampai mengikuti webinar *seminar melalui web* terkait gaya pengasuhan yang sesuai. Nah, hal yang menarik adalah: saya belum menemukan topik parenting ini dibahas dan dijadikan tema utama dalam sebuah novel. Ingat ya, belum. Belumnya saya bukan berarti bukunya memang belum ada, mungkin ada hanya saya saja yang belum menemuinya. Karena itulah saya bertekad mau menulis sebuah cerita dengan tema utamanya pengasuhan tadi.

Lalu tetiba semalam saya mendapati buku ini di kamar adik ipar. Dan secara tidak sengaja, sambil ngelonin Naia, saya membacanya iseng saja. Tidak disangka, buku ini sangat bagus dan saya jadi menunda waktu tidur saya demi menyelesaikan membacanya. Buku ini bisa dibilang merupakan buku “impian” saya *lebay yah? Emang! hehe*. Saya bisa belajar lebih banyak mengenai hal yang saya ingin tahu dengan membaca kisah seperti ini. Alhamdulillah sudah ada yang bikin. Berikutnya saya juga mau lho bikin novel kaya gini, saya masukkan dalam salah satu capaian saya malah. Semoga terwujud suatu hari nanti. Aamiin *ayo amini yang keras sodara2 😀

*****
Sabtu Bersama Bapak
Sabtu Bersama Bapak

Judul: Sabtu Bersama Bapak
Karangan: Adhitya Mulia
Tahun: 2014
Penerbit: Gagas Media
Rating: 4/5

Preview

[Parenting] Cegah Kekerasan Seksual dengan Sex Education

Masih ingat dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu sekolah bertaraf internasional di Jakarta? Tentunya masih ya, lha wong belum lama ini kok kasusnya terjadi. Media massa ramai sekali memberitakannya.

Belum lagi ada kasus Emon, yang telah melakukan kejahatan seksual pada lebih dari 100 orang anak. Sampai-sampai kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) ini menjadi sorotan tersendiri bagi para agamawan. Bahkan para ulama menghimbau agar pendidikan agama harus lebih intensif lagi agar tercipta manusia yang lebih tinggi kualitas keimanannya. Harapannya, dengan keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, maka kasus-kasus serupa dapat dihindari dan dikurangi.

Memang betul kalau pelaku kasus seperti ini sangat erat kaitannya dengan agama seperti telah dijelaskan oleh salah satu member KEB, Ida Nur Laila, dalam file kampanye #KEBAgentOfChange yang berjudul “Kekerasan Seksual Thd Anak Lawan dg Pengetahuan“. Oleh karena itu, kita memang harus menanamkan keimanan yang kuat pada anak kita agar terhindar dari kekerasan seksual ini, baik terhindar dari menjadi korban maupun terhindar dari menjadi pelaku itu sendiri.

KEB Agent of Change - File PDF
KEB Agent of Change – File PDF

Tapi, bukankah agama juga erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan? Jadi yang sebaiknya kita lakukan adalah…

Brain Child

brainchild

image credits

Judul: Brain Child – Cara Pintar Membuat Anak Menjadi Pintar
Karangan: Tony Buzan
Tahun: 2003
Rating: 4/5

Preview

Tahukah anda jumlah sel otak anak saat dilahirkan mencapai 166 kali lipat jumlah seluruh manusia yang saat ini tinggal di planet kita? Jumlahnya yang juta-jutaan itu membuat kemampuan otak anak sungguh tak terbatas. Tetapi, kemampuan tersebut harus diasah, dirangsang, dan diberi lingkungan yang tepat agar bisa digunakan secara maksimal.

Ini adalah buku petunjuk bagi para orangtua untuk membimbing anak agar mereka memanfaatkan setiap sel otaknya secara optimal. Di dalamnya terdapat cara-cara untuk:

  • Menggali potensi otak anak
  • Membesarkan anak agar menjadi pribadi yang bahagia dan percaya diri
  • Melatih kecerdasan majemuk anak
  • Berbagi keceriaan bersama anak dengan menggunakan permainan memori, keterampilan berhitung, dan Mind Map berwarna

Melalui buku ini, Tony Buzan mengajak Anda menempuh sebuah perjalanan mengasyikkan untuk menyusuri seluk beluk otak anak dan memunculkan kegeniusannya yang selama ini terpendam.

***

Buku ini sudah saya baca sejak saya lahiran. Untuk mengisi waktu di rumah gitu selain mengurus Naia, hehe.

Buku ini membahas semua hal mengenai

[Parenting] Kebiasaan Buruk 10, Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai

Sebenarnya tanpa kita sadari, sebagai orang tua kita cukup sering melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang kita katakan. Misalnya, kita melarang atau tidak menyetujui anak untuk membeli sesuatu dengan alasan sudah tidak punya uang lagi. Tapi, ternyata kita sendiri malah lagi asik milih-milih baju dan akhirnya membeli banyak baju. Wuih, anak akan merasa kita membohongi mereka. Dan mereka akan belajar kalau bohong adalah sesuatu yang lumrah, bukan perbuatan yang salah. Anak nantinya akan suliiit sekali untuk percaya pada kita. *contoh ini diambil dari buku Amazing Parenting karya Rani Razak Noe’man*

17448714

gambar dari sini

Saya pernah menyaksikan langsung si anak sudah meminta pulang kepada ibunya saat menjenguk teman yang sakit. Lalu si ibu berjanji kalau benar mereka akan pulang setelah tayangan di tv selesai *saat itu ada tayangan spongebob*. Si anak sampai berkali-kali menegaskan kalau mereka pasti akan pulang setelah spongebob habis dan si ibu benar-benar memastikannya. Tapi, saat tayangan tersebut sudah habis, apa yang dilakukan si ibu? Bukannya bergegas pulang, tapi mengulur-ulur waktu lagi dengan alasan yang tidak bisa diterima. Anaknya? Akhirnya dia gegulingan ngambek dan nangis.

Jadi harus gimana?

[Parenting] Kebiasaan Buruk 9, Menakuti Anak

Terkadang demi membuat anak kita diam dan tenang dari tangisannya, kita malah menakut-nakutinya dengan hal yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Seperti saat anak tidak henti-hentinya menangis, orangtua malah bilang padanya “Diem gak? Nanti mama bawa ke dokter ya biar disuntik” atau “Hadeuh, nanti mama panggil polisi nih ya biar kamu diem”. Atau malah ada yang menakut-nakutinya dengan hantu-hantuan atau hal-hal yang berbau mistis, hiiy.

scaring (1)

Image by Beth Jusino on Flickr

Mungkin memang dengan begitu anak akan berhenti menangis, tapi

[Parenting] Kebiasaan Buruk 7, Papa dan Mama Tidak Kompak

Alkisah *elah, kok pake alkisah yak*. oke, saya ganti..

Suatu malam Bela (bukan nama sebenarnya *halah) ingin menonton televisi dan membujuk sang Ibu agar ia diperbolehkan menonton. Tapi ternyata si Ibu melihat kalau Bela ini belum makan, jadilah ia memberi syarat Bela harus makan dulu sampai habis baru bisa menonton. Tentunya dengan bahasa yang telah diatur sedemikian rupa sehingga penyampaiannya baik. Tapi Bela malah tetap gak mau makan dan langsung merengek yang lama kelamaan jadi menangis kencang. Karena si Ibu tau itu hanya strategi, ya dibiarkan saja Bela menumpahkan tangisannya. Toh, Ibu tau kalau tangisan strategi itu biasanya gak bertahan lama. Kalau dia sangat ingin menonton televisi, toh dia pada akhirnya mau makan.
Tapi ternyata Ayahnya Bela kasihan dengannya dan akhirnya mengabulkan permintaannya untuk menonton televisi. Walhasil tangisan berhenti, Bela menonton televisi namun tidak jadi makan. Si Ibu jadi bingung dengan Ayah yang gak kompak itu dan akhirnya hanya geleng-geleng kepala sendiri.

Pernah mendengar kisah serupa? Atau kisah lain dimana Ayah tidak mau membelikan mainan karena bulan itu telah dibelikan mainan namun Ibu tetap membelikannya dengan alasan takut nangis dan mengganggu pengunjung toko lain?

Itu tandanya pengaasuhan Ayah – Ibu yang masih belum kompak.

[Parenting] Kebiasaan Buruk 6, Merendahkan Diri Sendiri

Pernah mengatakan ke anak setiap kali anak itu tidak mau menurut dengan perkataan seperti ini: ?

nanti mama bilangin papa lho” atau “biarin, begitu mama pulang nanti kamu pasti dimarahi

Kalau pernah, SELAMAT! Kalian telah merendahkan diri kalian sendiri di hadapan anak. Iya, kalau salah satu saja dari orangtua yang berwenang dan berkuasa atas segala peraturan di rumah, lantas kita sebagai pasangan bagaimana? Bukankah yang berwenang dan berhak mengasuh anak adalah kita berdua sebagai orangtua?

Dan, komunikasi yang paling baik adalah tetap dimana terjadi kesepakatan antara orangtua dan anak. Kesepakatan tersebut bisa dibuat oleh ibu maupun ayah karena kedua-duanya sama-sama berwenang, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kuasanya di hadapan anak.

Buat kesepakatan

Jadi, kalau anak mau menurut, ya buatlah kesepakatan dan patuhilah kesepakatan tersebut. Misal, si anak tidak mau mandi karena masih asik menonton. Tentukan pilihan dan beri batasan waktu untuk disepakati berdua. Minta ia untuk mandi sekarang agar nanti malam bisa menonton lagi atau mandi 10 menit lagi namun setelah itu tidak bisa menonton TV di malam nanti. Apabila ia lebih memilih mandi 10 menit lagi, tepat 10 menit kemudian datangi anak dan ajak mandi saat itu juga tanpa ada kompromi lebih lanjut. Karena itu adalah pilihannya tadi, dan dia harus menepati janjinya untuk tidak menonton TV nanti malam sebagaimana kita menepatinya untuk menunggu 10 menit.

Memang untuk membuat suatu kesepakatan seperti itu, kita sebagai orangtua harus sangat kreatif dan memiliki banyak ide. Namun, sesungguhnya tidak menjadi sulit ketika kita sangat mengenal anak kita. Apa kesukaannya dan apa yang yang tidak disukainya. Hal itu akan sangat memudahkan orangtua untuk memberinya hadiah atau hukuman yang tepat di isi kesepakatan.

Happy parenting ^^

[Parenting] Bukan “Mengharamkan”, Hanya “Mengurangi”

Sejak mengenal ilmu pengasuhan alias parenting, saya menyadari dan memahami kenapa kata ‘jangan’ tidak bisa sering-sering kita gunakan. Saya bahkan pernah membuktikannya sendiri. Dengan tidak menggunakan kata ‘jangan’, si anak malah lebih mengerti apa yang seharusnya dia lakukan.

Namun, beberapa waktu lalu saya sempat kaget dengan salah satu artikel di salah satu situs islami yang berjudul “Untukmu yang Mengharamkan Kata “Jangan”, Adakah Engkau Telah Melupakan Kitabmu?

Sesungguhnya artikel tersebut sangat bermanfaat sebagai pengingat bagi kita-kita yang sangat anti dengan kata ‘jangan’. Namun, yang saya tangkap, dengan adanya artikel itu, kata ‘jangan’ jadi sangat diperbolehkan dan dipersilakan untuk sering-sering menggunakannya, termasuk untuk hal yang remeh temeh sekalipun. Dan yang saya pahami, artikel tersebut tidaklah menampilkan perbandingan yang setara. Artikel tersebut malah membuat para orangtua menjadi bingung mengenai cara pengasuhan mereka yang telah mengurangi kata ‘jangan’ ini.

Yayasan parenting akhirnya menjawab kebingungan para orangtua mengenai hal ini

[Parenting] Kebiasaan Buruk 4 (Bicara Tidak Tepat Sasaran) dan 5 (Menekankan Pada Hal-hal yang Salah)

BICARA TIDAK TEPAT SASARAN [4] DAN MENEKANKAN PADA HAL-HAL YANG SALAH [5]

Kenapa kebiasaan buruk 4 dan 5 ini saya jadikan satu? Karena kedua kebiasaan ini biasa berjalan bersamaan. Misalnya, saat anak sudah remaja dan ingin pergi dengan teman-temannya padahal dia masih memiliki satu kewajiban yang belum dikerjakan, yaitu membereskan kamarnya. Nah, contoh bicara tidak tepat sasaran dan menekankan pada hal-hal yang salah adalah saat orangtua sebenarnya ingin agar anaknya membereskan kamarnya terlebih dahulu, tapi omongannya malah jadi kemana-mana.

orangtua: Nak, itu kamarnya belum diberesin, kok kamu udah mau pergi aja? kamu tu emang anak yang gak bertanggung jawab banget ya. papa mama udah sering ngasih tau juga kalau mau pergi kemana2 harus beresin kamar dulu. kemaren juga tuh, kamu gak nyuci baju kamu sendiri  yang menumpuk. jadi anak kok gak rapi banget. papa mama gak suka deh kamu kayak gitu

anak: X0*lkr$*%(2 o_O

Bicara tidak tepat sasaran.

Apa yang diinginkan orangtua? Agar si anak membereskan kamarnya bukan? Di ocehan tersebut si orangtua malah membicarakan banyak hal. Tentang anak yang tidak bertanggung jawab, tentang baju yang tidak dicuci, tentang anak yang tidak rapi. Si anak malah jadi bingung dan merasa sangat dipojokkan dan malah membuatnya frustasi.

Buatlah kesepakatan

[Parenting] Kebiasaan Buruk 3, Banyak Mengancam

Kakaaak, ganti baju..!!! Dari tadi gw suruh ganti baju gak ganti2 nih anak. Gw tendang luh kalo gak ganti-ganti, cepet ganti!!!

si anak: santai, main-main, ngeledek.

si ibu: tetap teriak-teriak tanpa melakukan apa yang diancamnya: menendang.

lama kelamaan si Ibu tetap teriak-teriak lalu sambil mencubit yang akhirnya membuat si anak ganti baju sambil menangis

Pernah kalian mendengar cerita serupa? Atau bahkan cerita lain dimana si ibu memerintahkan anaknya untuk membereskan mainan dengan ancaman kalau mainannya akan dibuang? Namun apa yang dilakukan kalau anak tetap tidak mau membereskan mainan? Si ibu lah yang akhirnya membereskan mainan tanpa membuang mainan tersebut.

sumber gambar: http://www.parenting.co.id/
sumber gambar: http://www.parenting.co.id/

Jadi bagaimana agar tidak mengancam?

[Parenting] Kalimat Positif

Buat para orangtua, pasti udah pada engeh kan kalo kita sebaiknya menghindari kalimat negatif ke anak kita. Yaa, kalau anak dilarang melakukan sesuatu, dia bingung sebaiknya bagaimana, maka dari itu sebaiknya justru berilah kalimat saran atau kalimat positif yang baik. Ya simple banget kok, cuman mengganti kata ‘Jangan …’ menjadi lawan katanya.

Kenapa sebisa mungkin harus menghindari penggunaan kata ‘jangan’? Karenaa, anak-anak itu cenderung akan mengabaikan kata jangan dan malah melakukan hal negatif yang kita bilang tadi. Atau, karena dilarang melakukan ini itu, anak malah bingung sebaiknya ia harus ngapain. Untuk itulah perlunya penggunaan kalimat positif. Kalimat positif ini bisa berfungsi juga sebagai ‘saran’ kepada anak apa yang sebaiknya ia harus lakukan, instead of melarangnya, hehehe.

Barusan banget dapet dari status sepupu saya di Facebook mengenai daftar kalimat negatif yang diubah menjadi kalimat positif. Bisa digunakan sebagai panduan nih, para ibu-ibu dan ayah-ayah, dalam membiasakan menggunakan kalimat positif dalam berkomunikasi 😉

kalimatpositif

Semudah ini kok, bener deh. Asal mau mencoba dan membiasakannya. Yang bener-bener perlu dilatih itu adalah kebiasaan. Ingat lho, kebiasaan..!! Jadi sering-seringlah berlatih mengganti kata jangan dengan kalimat  yang lebih positif yaa.

Happy Parenting ^^

[Parenting] Kebiasaan Buruk 2, Sering Berbohong

Pernah gak sih kita sebagai ibu melakukan kebohongan-kebohongan. Misalnya saja saat ada telpon yang tidak ingin diterima oleh Ibu lalu kita bilang ke anak “Nak,bilang ibu sedang pergi ya”. Nah lhoo, berbohongnya memang bukan termasuk kebohongan besar sih, tapi tetap saja anak akan belajar kalau berbohong itu hal yang wajar dan diperbolehkan. Toh, itu dicontohkan oleh si Ibu sendiri. Jadi wajar saja kalau suatu saat si anak bisa menjadi pembohong yang baik, ya karena itu hasil didikan orangtua.

Nah, di buku Ayah Edi yang pernah saya baca, ini termasuk kebiasaan buruk yang sering tidak disadari oleh orangtua. Berbohong kecil dan sering. Iya, gak cuma sekali dua kali kan berbohong seperti itu? Bahkan sering demi menenangkan anak yang melarang ibu atau ayah untuk pergi kerja, kita bilang “Nak, ayah/ibu perginya cuma sebentar kok, gak lama, jadi kamu tenang ya”. Lah, kalo ternyata ibu atau ayahnya kerja sampai larut malam gimana? Atau sampai waktu normal aja deh, jam 5 sore misalnya. Apakah itu waktu yang sebentar? Nanti akan tertanam juga deh di benak anak kalau pergi seharian termasuk waktu yang sebentar.

Kata sebentar atau lama sebenarnya juga kurang dianjurkan sih, karena itu termasuk waktu yang relatif. Ada yang menganggap 1 jam itu lama, ada yang menganggap 1 jam itu sebentar. Maka, untuk mengajarkan anak mengenai waktu, disaat anak belum bisa mengenal jam atau menit, sebaiknya pakai batas waktu yang pasti. Misalnya, “Kamu ditemani ibu setelah ibu selesai menggosok”. Nah, jelas batas waktunya, yaitu selesai menggosok! Anak akan belajar sabar dan akan mengenal batas waktu. Tapi disaat anak sudah mulai mengenal waktu, jam, menit, dsb, penting untuk selalu menggunakan batas waktu yang pasti tersebut. 15 menit lah, 30 menit lah, bahkan 8 jam kalau akan pergi bekerja. 

Balik lagi ke bohong. Sebagai orangtua, selalu lah usahakan untuk tidak berbohong, baik kebohongannya hanya kebohongan kecil seperti yang telah disampaikan. Mulailah selalu bicara jujur dan selalu membiasakan hal tersebut ke anak sejak anak lahir. Lebih baik bicara jujur mau ke mana, bersama siapa, dan akan pulang jam berapa nantinya ke anak. Walaupun anak nangis dan merengek, peluk dan tenangkan dulu. Kalau masih merengek, coba diajak mengantar sampai depan pintu, depan gang, atau depan komplek. Dengan begitu anak juga akan belajar berkomunikasi dengan baik kepada orangtua.

Saya pernah membuktikannya lho. Ceritanya ada di postingan saya yang ini, hehe.

Begitulah, semoga berguna dan bisa menghindari kebohongan-kebohongan kecil ini ya para orangtua 😉