Alkisah *elah, kok pake alkisah yak*. oke, saya ganti..
Suatu malam Bela (bukan nama sebenarnya *halah) ingin menonton televisi dan membujuk sang Ibu agar ia diperbolehkan menonton. Tapi ternyata si Ibu melihat kalau Bela ini belum makan, jadilah ia memberi syarat Bela harus makan dulu sampai habis baru bisa menonton. Tentunya dengan bahasa yang telah diatur sedemikian rupa sehingga penyampaiannya baik. Tapi Bela malah tetap gak mau makan dan langsung merengek yang lama kelamaan jadi menangis kencang. Karena si Ibu tau itu hanya strategi, ya dibiarkan saja Bela menumpahkan tangisannya. Toh, Ibu tau kalau tangisan strategi itu biasanya gak bertahan lama. Kalau dia sangat ingin menonton televisi, toh dia pada akhirnya mau makan.
Tapi ternyata Ayahnya Bela kasihan dengannya dan akhirnya mengabulkan permintaannya untuk menonton televisi. Walhasil tangisan berhenti, Bela menonton televisi namun tidak jadi makan. Si Ibu jadi bingung dengan Ayah yang gak kompak itu dan akhirnya hanya geleng-geleng kepala sendiri.
Pernah mendengar kisah serupa? Atau kisah lain dimana Ayah tidak mau membelikan mainan karena bulan itu telah dibelikan mainan namun Ibu tetap membelikannya dengan alasan takut nangis dan mengganggu pengunjung toko lain?
Itu tandanya pengaasuhan Ayah – Ibu yang masih belum kompak. Mungkin bila dirunut, tujuan pengasuhannya berbeda antara si Ayah dan si Ibu ini. Maka dari itu, penting sekali saat memiliki buah hati untuk mulai menetapkan tujuan pengasuhan dan mengkompakkan diri antara Ayah dan Ibu. Atau, kalau tujuan pengasuhan dilakukan jauh sebelum itu, saat merencanakan kehamilan justru lebih baik lagi.
Dengan pengasuhan yang kompak, anak tidak akan menjadi bingung dan nantinya tidak akan “berlindung” di ketiak salah satu orangtuanya. Anak akan cenderung mengikuti orang yang menurutnya enak kan? Nah, kalau Ayah – Ibu tidak kompak, anak akan merasa enakan sama Ayah, ini itu dibolehin. Atau, enakan sama Ibu ah, apa aja dibeliin. Maka, jangan heran kalau nantinya anak akan selalu mencari dukungan salah satu orangtua yang lebih “enak” itu dan jadi tidak mau menurut. đ
Alhamdulillah, saya dan suami sampai saat ini masih kompak dalam mengasuh Naia. Kalau saya membuat kesepakatan dengan Naia dan suami tidak tau, saya segera memberi tahunya agar dia mengerti sekarang Naia sedang apa. Misalnya, saya punya kesepakatan dengan Naia, yaitu membolehkannya menonton di laptop kalau Naia mau sikat gigi terlebih dahulu. Nah, kalau Naia belum sikat gigi namun meminta hadiah kepada papanya, nantinya papanya akan menyampaikan kalau ia harus melakukan apa yang telah disepakati tadi dengan saya, yaitu sikat gigi.
Hihi, itu contoh kecil aja sih. Masih banyak kekompakan lain yang harus dilakukan oleh kita, selaku orangtua.
Happy Parenting ^^