[Parenting] Kebiasaan Buruk 12 & 13, Merasa Salah dan Pasrah

Keputusan saya untuk bekerja di rumah setelah punya anak sangat saya syukuri. Pasalnya, saya bisa menyediakan waktu seharian penuh untuk anak saya. Tapi terkadang, waktu seharian itu bukan waktu yang benar-benar berkualitas sih karena pikiran saya dipenuhi oleh hal lain #ups. Ya misalnya saja pekerjaan yang belum selesai, atau sekedar masih ingin ngobrol atau berinteraksi di dunia maya. Terkadang walaupun saya bersama Naia, tangan saya tidak lepas dari gadget *huhu*. Iya, saya jadi merasa bersalah kalau sadar telah begitu.

Yang membuat saya sadar dan merasa bersalah terkadang karena Naia yang mulai melempar-lempar mainannya atau merengek-rengek gak jelas minta perhatian. Alih-alih kesal *awalnya sebel juga sih padahal XP* dengan rengekan dan tindakannya melempar barang itu, saya yang jadi mikir ke dalam diri sendiri, ini berarti saya sudah mengambil waktu berharga kami. Ya seketika itu juga saya berusaha biar bisa asik lagi dan main berdua lagi deh. Dengan begitu, waktunya dihabiskan dengan berkualitas lagi, hehe.

Namun, biasanya orangtua yang keduanya bekerja memaklumi kenakalan anaknya

[Parenting] Kebiasaan Buruk 11, Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak

Pernah gak sih kita lagi asik-asik belanja eh “direcokin” sama bocil alias anak kita? Kita sih berharap bocil yang kita ajak itu gak minta macem-macem saat kita belanja ya dan sudah memberi pengertian padanya. Etapi tiba-tiba di supermarket saat si bocil itu liat mainan dan sesuatu  yang menarik matanya dia malah merengek-rengek minta mainan itu. Dan kalau tidak kita turuti, dia akan menangis sejadi-jadinya. Kalau sudah menangis begini kita biasanya ngapain sih?

6149793560_0b279ca83d_o

 image credits

Kayanya kebanyakan dari kita biasanya langsung memberi apa yang dia minta tadi lah yaa, hehe. Padahal, ternyata hal itu malah salah loh. Karena kalau kita menuruti, sama saja si bocil akhirnya dapet hadiah atas rengekannya itu alias perilaku buruknya. Dan, ya gak heran kalau nanti dia bakal begitu lagi begitu lagi di kesempatan selanjutnya.

Terus gimana donk? Intinya sih balik lagi tentang kesepakatan ortu dan anak. Kalau sebelum ke supermarket kita sudah bersepakat dengan anak apa yang mau dibeli dan apa yang gak mau dibeli, si anak akan mengerti kalau dia nantinya tidak akan dibelikan hal yang gak mau dibeli tadi.

Misalnya, tujuan kita ke supermarket adalah untuk belanja bulanan dan bukan untuk membeli mainan. Jadi, nantinya si anak mengerti kalau kita tidak akan membelikannya mainan karena bukan itu tujuan ke supermarket saat itu. Kecuali ya di rumah bersepakat setelah belanja bulanan atau selama belanja bulanan, si anak boleh membeli 1 mainan saja. Intinya sih, tergantung gimana isi kesepakatan ortu dan anak lagi yaa 😀

Nah, kalau ternyata anaknya minta terus dengan merengek dan belum biasa bersepakat gimana? Permulaan pembiasaan bersepakat perlu sedikit rasa “tega” sih menurut saya. Karena sebaiknya saat dia merengek, kita tidak menghiraukannya alias “nyuekin”. Kalau dicuekin seperti itu, memang sih berisik dan akan membuat kita jadi pusat perhatian, tapi percaya deh, anak akan capek sendiri dan menyadari kalau rengekannya tersebut tidak berhasil. Atau malah akan terjadi kesepakatan baru. Misalnya, kalau dia benar2 mau apa yang diinginkan, buat ia bersabar sampai urusan kita selesai. Kalau ia mau bersabar, maka ia akan mendapat apa yang diinginkannya, tapi kalau tetap merengek, ya dia tidak akan mendapat apa2.

Hadiah untuk perilaku buruk ini juga gak melulu terjadi di tempat keramaian lho ya. Di rumah juga bisa. Contohnya sih kalau dia ingin jajan tapi karena kita tau itu jajanan yang tidak sehat kita tidak akan membelikannya. Nah, si anak juga bisa merengek karena hal ini. Kalau akhirnya kita berikan jajanan tersebut, jajanan itulah yang menjadi hadiah rengekannya itu. 😀

So, intinya, biasakan bersepakat yuk! Dan, jangan cepat menuruti keinginan anak saat perilaku buruknya muncul. Happy Parenting 😉

[Parenting] Kebiasaan Buruk 10, Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai

Sebenarnya tanpa kita sadari, sebagai orang tua kita cukup sering melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang kita katakan. Misalnya, kita melarang atau tidak menyetujui anak untuk membeli sesuatu dengan alasan sudah tidak punya uang lagi. Tapi, ternyata kita sendiri malah lagi asik milih-milih baju dan akhirnya membeli banyak baju. Wuih, anak akan merasa kita membohongi mereka. Dan mereka akan belajar kalau bohong adalah sesuatu yang lumrah, bukan perbuatan yang salah. Anak nantinya akan suliiit sekali untuk percaya pada kita. *contoh ini diambil dari buku Amazing Parenting karya Rani Razak Noe’man*

17448714

gambar dari sini

Saya pernah menyaksikan langsung si anak sudah meminta pulang kepada ibunya saat menjenguk teman yang sakit. Lalu si ibu berjanji kalau benar mereka akan pulang setelah tayangan di tv selesai *saat itu ada tayangan spongebob*. Si anak sampai berkali-kali menegaskan kalau mereka pasti akan pulang setelah spongebob habis dan si ibu benar-benar memastikannya. Tapi, saat tayangan tersebut sudah habis, apa yang dilakukan si ibu? Bukannya bergegas pulang, tapi mengulur-ulur waktu lagi dengan alasan yang tidak bisa diterima. Anaknya? Akhirnya dia gegulingan ngambek dan nangis.

Jadi harus gimana?

[Parenting] Kebiasaan Buruk 9, Menakuti Anak

Terkadang demi membuat anak kita diam dan tenang dari tangisannya, kita malah menakut-nakutinya dengan hal yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Seperti saat anak tidak henti-hentinya menangis, orangtua malah bilang padanya “Diem gak? Nanti mama bawa ke dokter ya biar disuntik” atau “Hadeuh, nanti mama panggil polisi nih ya biar kamu diem”. Atau malah ada yang menakut-nakutinya dengan hantu-hantuan atau hal-hal yang berbau mistis, hiiy.

scaring (1)

Image by Beth Jusino on Flickr

Mungkin memang dengan begitu anak akan berhenti menangis, tapi

[Parenting] Kebiasaan Buruk 7, Papa dan Mama Tidak Kompak

Alkisah *elah, kok pake alkisah yak*. oke, saya ganti..

Suatu malam Bela (bukan nama sebenarnya *halah) ingin menonton televisi dan membujuk sang Ibu agar ia diperbolehkan menonton. Tapi ternyata si Ibu melihat kalau Bela ini belum makan, jadilah ia memberi syarat Bela harus makan dulu sampai habis baru bisa menonton. Tentunya dengan bahasa yang telah diatur sedemikian rupa sehingga penyampaiannya baik. Tapi Bela malah tetap gak mau makan dan langsung merengek yang lama kelamaan jadi menangis kencang. Karena si Ibu tau itu hanya strategi, ya dibiarkan saja Bela menumpahkan tangisannya. Toh, Ibu tau kalau tangisan strategi itu biasanya gak bertahan lama. Kalau dia sangat ingin menonton televisi, toh dia pada akhirnya mau makan.
Tapi ternyata Ayahnya Bela kasihan dengannya dan akhirnya mengabulkan permintaannya untuk menonton televisi. Walhasil tangisan berhenti, Bela menonton televisi namun tidak jadi makan. Si Ibu jadi bingung dengan Ayah yang gak kompak itu dan akhirnya hanya geleng-geleng kepala sendiri.

Pernah mendengar kisah serupa? Atau kisah lain dimana Ayah tidak mau membelikan mainan karena bulan itu telah dibelikan mainan namun Ibu tetap membelikannya dengan alasan takut nangis dan mengganggu pengunjung toko lain?

Itu tandanya pengaasuhan Ayah – Ibu yang masih belum kompak.

[Parenting] Kebiasaan Buruk 6, Merendahkan Diri Sendiri

Pernah mengatakan ke anak setiap kali anak itu tidak mau menurut dengan perkataan seperti ini: ?

nanti mama bilangin papa lho” atau “biarin, begitu mama pulang nanti kamu pasti dimarahi

Kalau pernah, SELAMAT! Kalian telah merendahkan diri kalian sendiri di hadapan anak. Iya, kalau salah satu saja dari orangtua yang berwenang dan berkuasa atas segala peraturan di rumah, lantas kita sebagai pasangan bagaimana? Bukankah yang berwenang dan berhak mengasuh anak adalah kita berdua sebagai orangtua?

Dan, komunikasi yang paling baik adalah tetap dimana terjadi kesepakatan antara orangtua dan anak. Kesepakatan tersebut bisa dibuat oleh ibu maupun ayah karena kedua-duanya sama-sama berwenang, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kuasanya di hadapan anak.

Buat kesepakatan

Jadi, kalau anak mau menurut, ya buatlah kesepakatan dan patuhilah kesepakatan tersebut. Misal, si anak tidak mau mandi karena masih asik menonton. Tentukan pilihan dan beri batasan waktu untuk disepakati berdua. Minta ia untuk mandi sekarang agar nanti malam bisa menonton lagi atau mandi 10 menit lagi namun setelah itu tidak bisa menonton TV di malam nanti. Apabila ia lebih memilih mandi 10 menit lagi, tepat 10 menit kemudian datangi anak dan ajak mandi saat itu juga tanpa ada kompromi lebih lanjut. Karena itu adalah pilihannya tadi, dan dia harus menepati janjinya untuk tidak menonton TV nanti malam sebagaimana kita menepatinya untuk menunggu 10 menit.

Memang untuk membuat suatu kesepakatan seperti itu, kita sebagai orangtua harus sangat kreatif dan memiliki banyak ide. Namun, sesungguhnya tidak menjadi sulit ketika kita sangat mengenal anak kita. Apa kesukaannya dan apa yang yang tidak disukainya. Hal itu akan sangat memudahkan orangtua untuk memberinya hadiah atau hukuman yang tepat di isi kesepakatan.

Happy parenting ^^

[Parenting] Kebiasaan Buruk 4 (Bicara Tidak Tepat Sasaran) dan 5 (Menekankan Pada Hal-hal yang Salah)

BICARA TIDAK TEPAT SASARAN [4] DAN MENEKANKAN PADA HAL-HAL YANG SALAH [5]

Kenapa kebiasaan buruk 4 dan 5 ini saya jadikan satu? Karena kedua kebiasaan ini biasa berjalan bersamaan. Misalnya, saat anak sudah remaja dan ingin pergi dengan teman-temannya padahal dia masih memiliki satu kewajiban yang belum dikerjakan, yaitu membereskan kamarnya. Nah, contoh bicara tidak tepat sasaran dan menekankan pada hal-hal yang salah adalah saat orangtua sebenarnya ingin agar anaknya membereskan kamarnya terlebih dahulu, tapi omongannya malah jadi kemana-mana.

orangtua: Nak, itu kamarnya belum diberesin, kok kamu udah mau pergi aja? kamu tu emang anak yang gak bertanggung jawab banget ya. papa mama udah sering ngasih tau juga kalau mau pergi kemana2 harus beresin kamar dulu. kemaren juga tuh, kamu gak nyuci baju kamu sendiri  yang menumpuk. jadi anak kok gak rapi banget. papa mama gak suka deh kamu kayak gitu

anak: X0*lkr$*%(2 o_O

Bicara tidak tepat sasaran.

Apa yang diinginkan orangtua? Agar si anak membereskan kamarnya bukan? Di ocehan tersebut si orangtua malah membicarakan banyak hal. Tentang anak yang tidak bertanggung jawab, tentang baju yang tidak dicuci, tentang anak yang tidak rapi. Si anak malah jadi bingung dan merasa sangat dipojokkan dan malah membuatnya frustasi.

Buatlah kesepakatan

[Parenting] Kebiasaan Buruk 3, Banyak Mengancam

Kakaaak, ganti baju..!!! Dari tadi gw suruh ganti baju gak ganti2 nih anak. Gw tendang luh kalo gak ganti-ganti, cepet ganti!!!

si anak: santai, main-main, ngeledek.

si ibu: tetap teriak-teriak tanpa melakukan apa yang diancamnya: menendang.

lama kelamaan si Ibu tetap teriak-teriak lalu sambil mencubit yang akhirnya membuat si anak ganti baju sambil menangis

Pernah kalian mendengar cerita serupa? Atau bahkan cerita lain dimana si ibu memerintahkan anaknya untuk membereskan mainan dengan ancaman kalau mainannya akan dibuang? Namun apa yang dilakukan kalau anak tetap tidak mau membereskan mainan? Si ibu lah yang akhirnya membereskan mainan tanpa membuang mainan tersebut.

sumber gambar: http://www.parenting.co.id/
sumber gambar: http://www.parenting.co.id/

Jadi bagaimana agar tidak mengancam?

[Parenting] Kebiasaan Buruk 2, Sering Berbohong

Pernah gak sih kita sebagai ibu melakukan kebohongan-kebohongan. Misalnya saja saat ada telpon yang tidak ingin diterima oleh Ibu lalu kita bilang ke anak “Nak,bilang ibu sedang pergi ya”. Nah lhoo, berbohongnya memang bukan termasuk kebohongan besar sih, tapi tetap saja anak akan belajar kalau berbohong itu hal yang wajar dan diperbolehkan. Toh, itu dicontohkan oleh si Ibu sendiri. Jadi wajar saja kalau suatu saat si anak bisa menjadi pembohong yang baik, ya karena itu hasil didikan orangtua.

Nah, di buku Ayah Edi yang pernah saya baca, ini termasuk kebiasaan buruk yang sering tidak disadari oleh orangtua. Berbohong kecil dan sering. Iya, gak cuma sekali dua kali kan berbohong seperti itu? Bahkan sering demi menenangkan anak yang melarang ibu atau ayah untuk pergi kerja, kita bilang “Nak, ayah/ibu perginya cuma sebentar kok, gak lama, jadi kamu tenang ya”. Lah, kalo ternyata ibu atau ayahnya kerja sampai larut malam gimana? Atau sampai waktu normal aja deh, jam 5 sore misalnya. Apakah itu waktu yang sebentar? Nanti akan tertanam juga deh di benak anak kalau pergi seharian termasuk waktu yang sebentar.

Kata sebentar atau lama sebenarnya juga kurang dianjurkan sih, karena itu termasuk waktu yang relatif. Ada yang menganggap 1 jam itu lama, ada yang menganggap 1 jam itu sebentar. Maka, untuk mengajarkan anak mengenai waktu, disaat anak belum bisa mengenal jam atau menit, sebaiknya pakai batas waktu yang pasti. Misalnya, “Kamu ditemani ibu setelah ibu selesai menggosok”. Nah, jelas batas waktunya, yaitu selesai menggosok! Anak akan belajar sabar dan akan mengenal batas waktu. Tapi disaat anak sudah mulai mengenal waktu, jam, menit, dsb, penting untuk selalu menggunakan batas waktu yang pasti tersebut. 15 menit lah, 30 menit lah, bahkan 8 jam kalau akan pergi bekerja. 

Balik lagi ke bohong. Sebagai orangtua, selalu lah usahakan untuk tidak berbohong, baik kebohongannya hanya kebohongan kecil seperti yang telah disampaikan. Mulailah selalu bicara jujur dan selalu membiasakan hal tersebut ke anak sejak anak lahir. Lebih baik bicara jujur mau ke mana, bersama siapa, dan akan pulang jam berapa nantinya ke anak. Walaupun anak nangis dan merengek, peluk dan tenangkan dulu. Kalau masih merengek, coba diajak mengantar sampai depan pintu, depan gang, atau depan komplek. Dengan begitu anak juga akan belajar berkomunikasi dengan baik kepada orangtua.

Saya pernah membuktikannya lho. Ceritanya ada di postingan saya yang ini, hehe.

Begitulah, semoga berguna dan bisa menghindari kebohongan-kebohongan kecil ini ya para orangtua 😉

[Parenting] Kebiasaan Buruk 1, Menyalahkan Orang Lain

Saat Naia berumur 10 bulan pernah dia main di rumah ibu saya. Saking asiknya bermain, kepalanya sampai kejedot *bahasa bagusnya sih terbentur, hehee* lemari lalu menangis. Ibu saya lalu mendiamkannya sambil memukul2kan lemari itu dan bilang “lemarinya nakal ya, uh, uh. dah, udah dipukul ya lemarinya”.

Miris ya dengan pola pengasuhan yang sebagian besar ada di Indonesia ini. Dari kecil sudah diajarkan untuk selalu menyalahkan orang lain atau menyalahkan keadaan, bukannya introspeksi diri. Saat sudah dewasa, ya mau menyadari kesalahan bagaimana, lha wong dari kecil sudah terbentuk bahwa dirinya gak pernah salah kok.

Walaupun saya gak tau kata-kata yang seharusnya itu bagaimana, tapi saya selalu menghindari dan menjelaskan kalau tidak ada yang bisa disalahkan. Jadi saat itu saya langsung bilang gak ada yang nakal dan gak ada yang bisa disalahkan. Lemari kan gak bisa kemana-mana dan gak bisa memukul Naia, jadi lemari gak salah. Sakit? Ya sakit kalau kepala kita terbentur sesuatu yang keras.

Di lain waktu saat Naia bermain dengan senang baru saya “iklanin” pentingnya berhati-hati. Ya mengajarkan kehati-hatian ini memang tidak mudah juga dan tidak cukup sekali sih, perlu di”iklan”kan berulang-ulang kali, maka itu kita perlu cadangan sabar yang tak terhingga, hehe. Sampai sekarang walaupun Naia terkadang masih terjatuh dan kejedot, dia cuma cerita tanpa menyalahkan hal lain dan saya juga cuma bilang sakit sambil mengobati yang sakit tadi.

Tidak lupa saya juga bicara baik-baik dengan ibu saya kalau tindakannya bisa mengakibatkan Naia selalu menyalahkan orang lain. Pelan-pelan ibu saya mengerti juga dan Alhamdulillah sekarang sudah tidak seperti itu terhadap Naia :).

Mengajarkan untuk menjadi orang yang tidak pernah salah ini termasuk salah satu kebiasaan salah orangtua di buku karangan Ayah Edi berjudul “Mengapa anak saya suka melawan dan susah diatur?”. Di postingan 37 kebiasaan saya sudah menyebutkan apa-apa saja kebiasaan-kebiasaan yang salah itu dan kebiasaan ini disebut paling pertama dengan judul “Raja yang tak pernah salah”.

Berjudul seperti itu karena kebiasaan kecil yang sering tidak kita (orangtua) sadari bisa menjadikan dia seperti raja yang sombong yang tidak pernah mau disalahkan. Jadi yuk, para orangtua, hindarkan kebiasaan kecil yang menyebabkan anak selalu menyalahkan orang lain atau keadaan ini. Saat menjadi orangtua saatnya berhati-hati dengan segala yang kita lakukan :D.

37 Kebiasaan

Oke, jadi beberapa waktu lalu saya dan suami sepakat untuk memberikan bacaan ringan ke tetangga sebelah tentang pengasuhan anak. Heheh, bukan berarti kita udah paham, ya sama-sama belajar sih, cuman pengen aja ilmunya gak cuma kita yang punya, tapi semua orang tua juga punya, dimulai dari yang terdekat 😀

Nah, nemu buku bagus deh waktu jalan sambil kondangan ~heheh~ karangan ayah Edy, judulnya sih “Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur?” tapi sub judulnya “37 Kebiasaan Orangtua yang Menghasilkan Perilaku Buruk Pada Anak”, hihi. Jadi, kalau sekilas sih ini kaya di pihak orangtua yang menyetujui anaknya susah diatur, padahal di balik itu buku ini menjelaskan kesalahan yang sering dibuat oleh para orangtua secara tidak sadar. Bagus kan? 😀

Buku 37 Kebiasaan
Buku 37 Kebiasaan

Ah iya, maksud saya nulis ini adalah mau membagi apa saja 37 kebiasaan itu. Eh, tapi gak saya jelaskan satu-satu yaa, kalau mau lebih jelas mungkin beli bukunya aja, gak mahal juga kook, hehehe.

37 Kebiasaan yang salah dan dapat menghasilkan perilaku buruk pada anak itu antara lain: *di bukunya, 1 kebiasaan 1 bab*

  1. Selalu menyalahkan orang lain atau hal lain. Di buku sih judulnya “Raja yang Tak Pernah Salah”
  2. Berbohong kecil dan sering. Contohnya: kalau kita mau pergi, sering berbohong “Mama/papa hanya pergi ke depan sebentar, gak lama”, padahal perginya bisa seharian penuh 😛
  3. Banyak mengancam.
  4. Bicara tidak tepat sasaran. Kaya apa tuh? Misalnya, padahal kita marah karena barang kesayangan kita dipecahkan oleh anak, tapi kita jadi mengungkit-ungkit kesalahannya yang lama2 bukannya menjelaskan apa yang harus diperbuat lain kali.
  5. Menekankan pada hal-hal yang salah. Mirip dengan yang nomer 4 sih 😀
  6. Merendahkan diri sendiri. Misalnya dengan menekankan kalau main PS terus nanti papa marah *yang ngomong mamanya*.
  7. Papa dan mama tidak kompak. Yang satu membela, yang satu menghukum. Harusnya dalam mengasuh anak, orangtua sudah sepakat dan satu suara.
  8. Campur tangan kakek, nenek, tante, atau pihak lain. Di sini kita jadi harus memastikan kepada siapapun untuk tidak ikut campur atau justru mendukung pola pengasuhan kita.
  9. Menakuti anak. Contohnya itu saat mendiamkan anak nangis, “Hayo, kalo nangis terus nanti disuntik lho”.
  10. Ucapan dan tindakan tidak sesuai. Misalnya kita udah berjanji mau memberikan hadiah, tapi ternyata tidak. Atau akan menghukum anak tapi karena tempat dan waktunya belum pas, jadi terundur dan lupa. Anak akan jadi sulit percaya kepada orangtua nantinya.
  11. Hadiah untuk perilaku buruk anak. Misalnya anak merengek untuk membeli jajanan tidak sehat dan kita gak mengabulkannya. Tapi dia terus merengek sampai kita tidak tahan dan akhirnya mengalah. Jajanan itu termasuk hadiah untuk perilaku rengekan tersebut.
  12. Merasa salah karena tidak memberikan yang terbaik. Mungkin karena kedua orangtua bekerja, jadi merasa bersalah jarang bertemu akhirnya memaklumi perilaku buruk anak.
  13. Mudah menyerah dan pasrah.
  14. Marah yang berlebihan.
  15. Gengsi untuk menyapa.
  16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya. Misalnya anak kita bertengkar dengan temannya dan anak kita memukul. Terkadang dimaklumi dan bicara “Maklumlah, namanya juga anak2”.
  17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya. Misalnya, “Awas, jangan macam-macam ya”. Definisikan “macam-macam” itu.
  18. Mengharap perubahan instan.
  19. Pendengar yang buruk. Sebelum anak menjelaskan panjang lebar dan baru 1 kalimat keluar, kita sudah memarahi dan menasehatinya panjang lebar. Nantinya anak jadi enggan bercerita dan enggan terbuka.
  20. Selalu menuruti permintaan anak.
  21. Terlalu banyak larangan.
  22. Terlalu cepat menyimpulkan. Mirip dengan no. 19 sih. Anak baru menjelaskan, kita seolah2 sudah mengerti dan membuat kesimpulan yang salah, jadi langsung memarahi panjang lebar.
  23. Mengungkit kesalahan masa lalu.
  24. Suka membandingkan. Ingat selalu bahwa setiap manusia itu unik, termasuk anak kita dengan anak-anak lainnya.
  25. Paling benar dan paling tahu segalanya.
  26. Saling melempar tanggung jawab.
  27. Kakak harus selalu mengalah. Kita harus selalu bertindak adil. Walaupun si adik masih kecil, tetap harus diberitahukan mana yang benar dan mana yang salah.
  28. Menghukum secara fisik. Sudah pasti tau ya, memukul.
  29. Menunda atau membatalkan hukuman.
  30. Terpancing emosi. Agak mirip dengan nomor 11 nih sepertinya. Jadi, kita harus bersabar dan tahan dengan rengekan anak dan tetap konsisten dengan yang kita katakan.
  31. Menghukum anak saat kita marah. Sebaiknya jika sudah tidak bisa tertahan lagi, segera menjauh dari anak dan pilih cara terbaik untuk menenangkan diri.
  32. Mengejek.
  33. Menyindir.
  34. Memberi julukan yang buruk. Julukan ini seperti “cengeng”. Jika anak terus-menerus diberi julukan cengeng sejak kecil, maka akan tertanam di otak kalau dia adalah pribadi yang cengeng.
  35. Mengumpan anak yang rewel.
  36. Televisi sebagai agen pendidik anak.
  37. Mengajari anak untuk membalas.

Yah, kira-kira begitulah isi buku itu, walaupun bukan penjelasan lengkap dan cuma daftar kebiasaannya saja, tapi lumayan kan? 😛

Dan yang terakhir, pengasuhan dan pendidikan itu dilakukan oleh kedua orangtua. Jadi, jangan ragu-ragu menghabiskan banyak waktu untuk mengkomunikasikan pengasuhan dan pendidikan anak kita kelak seperti yang diinginkan. Komunikasi antar orang tua itu sangat penting untuk menjaga kekompakan dan menghasilkan kesepakatan pola pengasuhan. 🙂