Sabtu Bersama Bapak

Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.

Iya, sih. Tapi, mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.

Dari dulu saya memang suka sekali untuk mengambil pelajaran dari kisah2. Bukan kisah yang berat2 seperti kisah Einstein atau ilmuwan lainnya sih *walaupun pada akhirnya tertarik juga membaca kisah hidup mereka, hehe*, novel remaja atau kumpulan cerpen saja sudah cukup. Karena jujur saja, waktu saya remaja, saya mendapat banyak pelajaran dari cerpennya Asma Nadia. Pelajaran bagaimana menghargai orang, pelajaran mengenai islam lebih lanjut, dan masih banyak pelajaran lainnya. Karena ini pula saya suka banget sama “Teka-teki Terakhir“nya Annisa Ihsani yang sarat akan ilmu Matematika.

Berhubung saya udah punya anak, saya lalu jadi concern banget sama segala sesuatu yang berbau parenting atau pengasuhan. Sejak Naia lahir, semangat saya jadi sangat terpacu untuk mempelajari segala hal mengenai pengasuhan, baik dari internet maupun membeli buku2 fisiknya. Saya sampai ikut gabung di milis parenting, subscribe di website parenting juga, sampai mengikuti webinar *seminar melalui web* terkait gaya pengasuhan yang sesuai. Nah, hal yang menarik adalah: saya belum menemukan topik parenting ini dibahas dan dijadikan tema utama dalam sebuah novel. Ingat ya, belum. Belumnya saya bukan berarti bukunya memang belum ada, mungkin ada hanya saya saja yang belum menemuinya. Karena itulah saya bertekad mau menulis sebuah cerita dengan tema utamanya pengasuhan tadi.

Lalu tetiba semalam saya mendapati buku ini di kamar adik ipar. Dan secara tidak sengaja, sambil ngelonin Naia, saya membacanya iseng saja. Tidak disangka, buku ini sangat bagus dan saya jadi menunda waktu tidur saya demi menyelesaikan membacanya. Buku ini bisa dibilang merupakan buku “impian” saya *lebay yah? Emang! hehe*. Saya bisa belajar lebih banyak mengenai hal yang saya ingin tahu dengan membaca kisah seperti ini. Alhamdulillah sudah ada yang bikin. Berikutnya saya juga mau lho bikin novel kaya gini, saya masukkan dalam salah satu capaian saya malah. Semoga terwujud suatu hari nanti. Aamiin *ayo amini yang keras sodara2 😀

*****
Sabtu Bersama Bapak
Sabtu Bersama Bapak

Judul: Sabtu Bersama Bapak
Karangan: Adhitya Mulia
Tahun: 2014
Penerbit: Gagas Media
Rating: 4/5

Preview

[Parenting] Cegah Kekerasan Seksual dengan Sex Education

Masih ingat dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu sekolah bertaraf internasional di Jakarta? Tentunya masih ya, lha wong belum lama ini kok kasusnya terjadi. Media massa ramai sekali memberitakannya.

Belum lagi ada kasus Emon, yang telah melakukan kejahatan seksual pada lebih dari 100 orang anak. Sampai-sampai kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) ini menjadi sorotan tersendiri bagi para agamawan. Bahkan para ulama menghimbau agar pendidikan agama harus lebih intensif lagi agar tercipta manusia yang lebih tinggi kualitas keimanannya. Harapannya, dengan keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, maka kasus-kasus serupa dapat dihindari dan dikurangi.

Memang betul kalau pelaku kasus seperti ini sangat erat kaitannya dengan agama seperti telah dijelaskan oleh salah satu member KEB, Ida Nur Laila, dalam file kampanye #KEBAgentOfChange yang berjudul “Kekerasan Seksual Thd Anak Lawan dg Pengetahuan“. Oleh karena itu, kita memang harus menanamkan keimanan yang kuat pada anak kita agar terhindar dari kekerasan seksual ini, baik terhindar dari menjadi korban maupun terhindar dari menjadi pelaku itu sendiri.

KEB Agent of Change - File PDF
KEB Agent of Change – File PDF

Tapi, bukankah agama juga erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan? Jadi yang sebaiknya kita lakukan adalah…

[Parenting] Kebiasaan Buruk 14: Marah yang Berlebihan

Pernah membaca cerita kemarahan ayah yang mengakibatkan tangan anak sampai diamputasi?

Cerita itu mengisahkan anak 3,5 tahun yang ditinggal kerja oleh kedua orangtuanya dan ditinggalkan hanya dengan ART di rumah. Namun, karena ART sibuk dengan urusan rumah, ia jadi tidak bisa selalu mengawasi anak itu bermain. Nah, saat sedang bermain itu, si anak menemukan paku berkarat dan berpikir bisa berkreasi dengan paku tersebut, dimulai dari lantai garasi sampai mobil baru kedua orangtuanya. Saat pulang kerja, ayahnya yang melihat mobil barunya penuh coretan yang tidak mudah dihilangkan tersebut sangat murka dan memukuli si anak dengan ranting yang diambil dari pohon di depan rumahnya. Setelah pelampiasan marah yang berlebihan tersebut terpuaskan, giliran si anak sangat kesakitan dengan luka-luka yang dihasilkan. Bahkan sampai demam berhari-hari. Sampai akhirnya saat dibawa ke dokter, tangan tersebut sudah sangat parah keadaannya karena sudah terinfeksi sedemikian hebatnya sehingga harus diamputasi. Si ayah sangat terpukul dengan keputusan itu dan sangat menyesal dengan tindakannya saat marah lalu. Tapi apa daya, tangan anaknya tidak akan bisa kembali seperti semula. T_T

child_
Image by DAVIDKNOX from Freeimages.com

Saya membaca kisah tersebut sudah agak lama, namun sampai sekarang rasanya masih saja terbayang akan rasa sakit dan menyesalnya si ayah karena pelampiasan amarah yang berlebihan saat itu. Rasa-rasanya memang kisah itu merupakan contoh yang sangat ekstrim dan merasa kita tidak akan sampai sebegitunya ya. Tapi, begitulah, marah yang berlebihan bisa menyebabkan hal buruk lainnya. Mungkin, kalaupun pukulan si ayah tadi tidak sampai membuat tangannya diamputasi, tetap saja perlakuan ayahnya akan terus membekas di hati sang anak dan akan diingatnya seumur hidup. Sungguh, setiap pukulan atau setiap bentakan yang kita arahkan ke anak kita akan membekas di hatinya dan membuat keadaan emosinya menjadi tidak stabil juga.

Tidak percaya? Coba deh buktikan sendiri.

Naia & Papa’s Day

Kemarin ituh betul-betul hari yang menyenangkan. Ya buat saya, buat suami, juga buat Naia, hihi.

Buat saya karena saya bisa menikmati “me-time”, dengan jalan-jalan sendirian ke mall hyehehe. Suami dan Naia? Mereka menikmati waktu mereka juga di rumah, yaa daughter & Papa’s day gituh ceritanyee 😀

Tadinya sih rencananya mau berbagi tugas membereskan rumah saja, tapi ternyata ada kesempatannya buat kami menikmati waktu masing-masing ya dipakai saja deh. Soalnyah, selama bulan puasa ini weekend  kami selalu terisi dengan undangan bukpus, baru kemarin saja yang masih kosong *sok sibuk*, walhasil yaa gitu deeh xp

Dari sejak saya bangun sampai mau tidur, mereka masih asik main berdua, sayanya dianggurin. Bukan apa-apa, soalnya jadwal tidurnya beda, saya tidur mereka main, mereka tidur saya segar, hahaha. Saat mereka masih tidur setelah sholat Subuh, dan mumpung semangat sedang meninggi, saya berpikir untuk memanfaatkan semangat itu semaksimal mungkin dengan membereskan rumah.  Nah, saat pekerjaan saya selesai, mereka baru bangun dan giliran saya dah yang ngantuk. Akhirnya, mereka mah masih segar dan energinya banyak untuk bermain, sayanyah tepaaar.. Berhasil deh mereka bermain tanpa saya.

Saat saya segar lagi, giliran mereka yang ngantuk lagi dan bersiap tidur siang, huaah. Betul-betul saya merasa jadi orang lain jadinyah xp Dan di saat suami mau tidur saya minta ijin untuk keluar jalan-jalan sedikit ke mall untuk cuci mata sekalian belanja. Untungnya mereka tidur agak lama, Naia sih yang lebih lama. Mungkin dia memang sedang mengembalikan kondisi badannya dengan beristirahat. Sudah 3 hari ini hidungnya meler dan agak batuk. Semoga kamu cepet sehat ya Naia :-*

Setelah lama gak naik angkot sendiri. Setelah lama juga gak jalan-jalan sendiri. Mendapat kesempatan seperti kemarin ituh rasanyaa… tak terbayangkan *halah*. Akhirnya saya betul berbelanja sedikit. Tapi, maksud hati mau menikmati diskonan, barang2 yang saya suka dan beli malah bukan yang berdiskon, hiks T_T. Sekali-sekali lah yaa gak modis (modal diskon) xp

Tapi karena saya jalan-jalan begitu, saya jadi gak masak untuk berbuka deh. Yaudah lah ya, bisa beli, wihihi. Yaa, kan kesempatan menikmati kesendirian itu jarang-jarang yaa dapetnya saat sudah punya anak gini, hee. Akhirnya ya sebelum pulang saya beli makanan untuk berbuka sekalian. Dan betul saja, saat saya sampai rumah, pass banget adzan Maghrib berkumandang. Alhamdulillah ya Allah, jalanan pulang lancar jaya jadi gak buka di jalan dan suami juga bisa langsung menikmati makanan yang saya beli.

Apa kabar suami dan Naia di rumah? Selama saya pergi, mereka masih tidur tuh, wahaha. Eh, suami udah bangun duluan sih sebelum Naia. Naia bangun tidak lama sebelum saya pulang. Nikmatnyaa berbuka bersama begitu. Makanan yang saya beli tapinyah ternyata cukup sampai sahur. Niatnya beli 2 porsi untuk saya dan suami masing-masing 1 porsi. Etapi saat kita makan 1 porsi berdua kok ya udah kenyang ya. Akhirnya yang 1 porsi lagi dengan senang hati disisakan deh, saya jadi gak repot2 lagi masak untuk sahur kalau begitu xp

Tapi setelah itu sayanya capek lagi -_- Akhirnya saat saya udah tepar dan sudah bermimpi kemana tau, dan berhubung Naia baru melek sebelum Maghrib, mereka (suami dan Naia) masih bermain asik, entah deh jam berapa mereka tidurnya. Selain itu suami juga sabar banget nanganin Naia, minum susunya banyak plus dia bisa mengeluarkan lendirnya cukup banyak juga. Semoga kondisinya membaik hari ini, sehat kembali, bisa bermain lebih semangat lagi jadinya.

Dan, karena kemarin mereka berdua menikmati waktunya, bisa lah yaa saya bialng kalau kemarin jadi Naia & Papa’s day, hoho.

Naia Lulus Toilet Training

Setelah 1 tahun toilet training, akhirnya Naia lulus juga, hehe.

Alhamdulillah sekarang Naia sudah paham dan ngerti kalau mau BAB atau BAK bilang mama atau papanya dan ke kamar mandi. Malah sekarang BABnya maunya di WC yang sama kayak mama-papanya. Padahal dia udah dibeliin WC sendiri -_-

Toilet Naia
Toilet Naia

Untuk pipis sih sebenernya sudah terbiasa dari kapan tau, yaah, kira-kira 2-3 minggu dari mulai toilet training dia sudah bisa bilang kalau mau pipis dan pipis di kamar mandi. Nah, pup ini yang sampai 2 minggu atau 3 minggu yang lalu masih saja di celana.

Tapi pipis yang sudah bisa bilang itupun masih sering “kecolongan” sih. Terkadang, di saat saya yang sedang PMS atau emosinya sedang tidak stabil, Naia ngompol.

Emang ngaruh gitu emosi kita ke anak?

Brain Child

brainchild

image credits

Judul: Brain Child – Cara Pintar Membuat Anak Menjadi Pintar
Karangan: Tony Buzan
Tahun: 2003
Rating: 4/5

Preview

Tahukah anda jumlah sel otak anak saat dilahirkan mencapai 166 kali lipat jumlah seluruh manusia yang saat ini tinggal di planet kita? Jumlahnya yang juta-jutaan itu membuat kemampuan otak anak sungguh tak terbatas. Tetapi, kemampuan tersebut harus diasah, dirangsang, dan diberi lingkungan yang tepat agar bisa digunakan secara maksimal.

Ini adalah buku petunjuk bagi para orangtua untuk membimbing anak agar mereka memanfaatkan setiap sel otaknya secara optimal. Di dalamnya terdapat cara-cara untuk:

  • Menggali potensi otak anak
  • Membesarkan anak agar menjadi pribadi yang bahagia dan percaya diri
  • Melatih kecerdasan majemuk anak
  • Berbagi keceriaan bersama anak dengan menggunakan permainan memori, keterampilan berhitung, dan Mind Map berwarna

Melalui buku ini, Tony Buzan mengajak Anda menempuh sebuah perjalanan mengasyikkan untuk menyusuri seluk beluk otak anak dan memunculkan kegeniusannya yang selama ini terpendam.

***

Buku ini sudah saya baca sejak saya lahiran. Untuk mengisi waktu di rumah gitu selain mengurus Naia, hehe.

Buku ini membahas semua hal mengenai

Kriteria Memilih Sekolah

Iyes, saya setuju banget sama 25 kriteria tambahan ini untuk memilih sekolah. Justru mungkin inilah yang terpenting buat saya dan suami saat memilih sekolah untuk anak nantinya. Selain tentu saja si anak suka atau tidak dengan kondisi sekolahnya ya 😀

checklist
Photo Credit: StockMonkeys.com via Compfight cc

Biasanya orangtua memilih sekolah baik berdasarkan kriteria: nilai ujian siswa, passing grade, atau biayanya. Namun pakar pendidikan Ian Gilbert dalam bukunya, Independent Thinking, mengajukan 25 parameter yang bisa jadi panduan bagi orangtua dalam memilih sekolah yang baik untuk anaknya. Bagi pengelola sekolah, daftar ini bisa jadi panduan tambahan untuk menciptakan atmosfer pembelajaran yang kondusif.

1. Apakah para siswa menikmati belajar di sekolah itu?
2. Apakah para guru menikmati mendidik di sekolah itu?
3. Apakah para siswa merasa tertantang dengan kegiatan-kegiatan di sekolah itu?
4. Apakah para siswa juga mengembangkan kompetensi, tidak hanya mendapat nilai tinggi belaka?
5. Apakah para siswa juga mempelajari keterampilan dan tidak hanya fakta-fakta pengetahuan?
6. Apakah nilai-nilai moral juga menjadi fokus dan diteladankan oleh setiap anggota komunitas sekolah?
7. Apakah terdapat cukup atmosfer inklusif di mana semua siswa dihargai berdasar jati diri mereka dan apa yang mereka bisa?
8. Apakah isu-isu penting seperti bullying dan berbagai aspek sosial dan emosional lain dalam kehidupan sekolah didiskusikan secara terbuka dan positif?
9. Apakah kemampuan untuk berpikir sendiri didorong dan dikembangkan bagi seluruh siswa?
10. Apakah sekolah memiliki unsur kesenangan dan keriangan?
11. Apakah aspek-aspek seperti rasa ingin tahu, kekaguman, keberanian, kegigihan dan ketahanan didorong dan disambut secara aktif?
12. Apakah para guru terbuka terhadap ide-ide baru dan tertarik melakukan berbagai kegiatan bersama – bukan terhadap – para siswa?
13. Apakah sekolah mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan dan pembelajaran?
14. Apakah sekolah mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia teknologi pendidikan?
15. Apakah harapan yang tinggi juga disematkan kepada para guru dan pengelola sekolah, seperti juga disematkan kepada para siswa?
16. Apakah kepala sekolah “terlihat” dan mudah diajak berinteraksi?
17. Apakah para siswa disadarkan bahwa mengeluarkan yang terbaik dari diri sendiri tidak harus berarti menjadi lebih baik dari orang lain?
18. Apakah sekolah terbuka terhadap hal-hal di luar dugaan (yang positif)?
19. Apakah para siswa diajak berpikir tentang, berinteraksi dengan, dan berusaha berkontribusi pada kehidupan di luar dinding sekolah?
20. Apakah sekolah sadar bahwa pembelajaran adalah sesuatu yang bisa dilakukan siswa kapan pun, di mana pun, dan hanya sebagian di antaranya saja yang perlu dilakukan di dalam dinding sekolah?
21. Apakah komunitas sekolah terbentang sampai keluar dinding sekolah (melibatkan masyarakat)?
22. Apakah proses belajar mengajar di dalam sekolah memasukkan berbagai variasi kemungkinan dan kesempatan pembelajaran?
23. Apakah para siswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab terhadap sesuatu dan untuk mengambil keputusan yang berdampak penting?
24. Apakah hasil pembelajaran yang didapatkan cukup sebagai bekal siswa untuk melangkah ke fase hidupnya berikutnya?
25. Apakah resepsionis, guru, petugas kebersihan, dan seluruh staf sekolah tersenyum kepada orangtua dan pengunjung sekolah?

Emang mungkin susah sih nyari sekolah yang benar-benar ideal. Dan jaman sekarang sudah banyak yang menerapkan home schooling. Tapi saya merasa saya dan suami masih akan menyekolahkan anak di lembaga sekolah yang paling tidak mendekati sekolah ideal menurut kami. Semoga kami mendapatkan yang terbaik 🙂

Daan, credits go to Kreshna Aditya. Dialah yang membuat status Facebook berisi 25 kriteria itu ^^

[Parenting] Kebiasaan Buruk 12 & 13, Merasa Salah dan Pasrah

Keputusan saya untuk bekerja di rumah setelah punya anak sangat saya syukuri. Pasalnya, saya bisa menyediakan waktu seharian penuh untuk anak saya. Tapi terkadang, waktu seharian itu bukan waktu yang benar-benar berkualitas sih karena pikiran saya dipenuhi oleh hal lain #ups. Ya misalnya saja pekerjaan yang belum selesai, atau sekedar masih ingin ngobrol atau berinteraksi di dunia maya. Terkadang walaupun saya bersama Naia, tangan saya tidak lepas dari gadget *huhu*. Iya, saya jadi merasa bersalah kalau sadar telah begitu.

Yang membuat saya sadar dan merasa bersalah terkadang karena Naia yang mulai melempar-lempar mainannya atau merengek-rengek gak jelas minta perhatian. Alih-alih kesal *awalnya sebel juga sih padahal XP* dengan rengekan dan tindakannya melempar barang itu, saya yang jadi mikir ke dalam diri sendiri, ini berarti saya sudah mengambil waktu berharga kami. Ya seketika itu juga saya berusaha biar bisa asik lagi dan main berdua lagi deh. Dengan begitu, waktunya dihabiskan dengan berkualitas lagi, hehe.

Namun, biasanya orangtua yang keduanya bekerja memaklumi kenakalan anaknya

[Parenting] Kebiasaan Buruk 11, Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak

Pernah gak sih kita lagi asik-asik belanja eh “direcokin” sama bocil alias anak kita? Kita sih berharap bocil yang kita ajak itu gak minta macem-macem saat kita belanja ya dan sudah memberi pengertian padanya. Etapi tiba-tiba di supermarket saat si bocil itu liat mainan dan sesuatu  yang menarik matanya dia malah merengek-rengek minta mainan itu. Dan kalau tidak kita turuti, dia akan menangis sejadi-jadinya. Kalau sudah menangis begini kita biasanya ngapain sih?

6149793560_0b279ca83d_o

 image credits

Kayanya kebanyakan dari kita biasanya langsung memberi apa yang dia minta tadi lah yaa, hehe. Padahal, ternyata hal itu malah salah loh. Karena kalau kita menuruti, sama saja si bocil akhirnya dapet hadiah atas rengekannya itu alias perilaku buruknya. Dan, ya gak heran kalau nanti dia bakal begitu lagi begitu lagi di kesempatan selanjutnya.

Terus gimana donk? Intinya sih balik lagi tentang kesepakatan ortu dan anak. Kalau sebelum ke supermarket kita sudah bersepakat dengan anak apa yang mau dibeli dan apa yang gak mau dibeli, si anak akan mengerti kalau dia nantinya tidak akan dibelikan hal yang gak mau dibeli tadi.

Misalnya, tujuan kita ke supermarket adalah untuk belanja bulanan dan bukan untuk membeli mainan. Jadi, nantinya si anak mengerti kalau kita tidak akan membelikannya mainan karena bukan itu tujuan ke supermarket saat itu. Kecuali ya di rumah bersepakat setelah belanja bulanan atau selama belanja bulanan, si anak boleh membeli 1 mainan saja. Intinya sih, tergantung gimana isi kesepakatan ortu dan anak lagi yaa 😀

Nah, kalau ternyata anaknya minta terus dengan merengek dan belum biasa bersepakat gimana? Permulaan pembiasaan bersepakat perlu sedikit rasa “tega” sih menurut saya. Karena sebaiknya saat dia merengek, kita tidak menghiraukannya alias “nyuekin”. Kalau dicuekin seperti itu, memang sih berisik dan akan membuat kita jadi pusat perhatian, tapi percaya deh, anak akan capek sendiri dan menyadari kalau rengekannya tersebut tidak berhasil. Atau malah akan terjadi kesepakatan baru. Misalnya, kalau dia benar2 mau apa yang diinginkan, buat ia bersabar sampai urusan kita selesai. Kalau ia mau bersabar, maka ia akan mendapat apa yang diinginkannya, tapi kalau tetap merengek, ya dia tidak akan mendapat apa2.

Hadiah untuk perilaku buruk ini juga gak melulu terjadi di tempat keramaian lho ya. Di rumah juga bisa. Contohnya sih kalau dia ingin jajan tapi karena kita tau itu jajanan yang tidak sehat kita tidak akan membelikannya. Nah, si anak juga bisa merengek karena hal ini. Kalau akhirnya kita berikan jajanan tersebut, jajanan itulah yang menjadi hadiah rengekannya itu. 😀

So, intinya, biasakan bersepakat yuk! Dan, jangan cepat menuruti keinginan anak saat perilaku buruknya muncul. Happy Parenting 😉

[Parenting] Kebiasaan Buruk 10, Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai

Sebenarnya tanpa kita sadari, sebagai orang tua kita cukup sering melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang kita katakan. Misalnya, kita melarang atau tidak menyetujui anak untuk membeli sesuatu dengan alasan sudah tidak punya uang lagi. Tapi, ternyata kita sendiri malah lagi asik milih-milih baju dan akhirnya membeli banyak baju. Wuih, anak akan merasa kita membohongi mereka. Dan mereka akan belajar kalau bohong adalah sesuatu yang lumrah, bukan perbuatan yang salah. Anak nantinya akan suliiit sekali untuk percaya pada kita. *contoh ini diambil dari buku Amazing Parenting karya Rani Razak Noe’man*

17448714

gambar dari sini

Saya pernah menyaksikan langsung si anak sudah meminta pulang kepada ibunya saat menjenguk teman yang sakit. Lalu si ibu berjanji kalau benar mereka akan pulang setelah tayangan di tv selesai *saat itu ada tayangan spongebob*. Si anak sampai berkali-kali menegaskan kalau mereka pasti akan pulang setelah spongebob habis dan si ibu benar-benar memastikannya. Tapi, saat tayangan tersebut sudah habis, apa yang dilakukan si ibu? Bukannya bergegas pulang, tapi mengulur-ulur waktu lagi dengan alasan yang tidak bisa diterima. Anaknya? Akhirnya dia gegulingan ngambek dan nangis.

Jadi harus gimana?

Sudah 9 Bulan

9 bulan sudah Naia resmi copot pampers kalau di rumah alias melakukan toilet training. Alhamdulillah sekarang udah lancar dan dia selalu bilang kalau mau pipis. Walaupun ada yang kebablasan sih, dia bilang pipis sambil pipisnya ngocor, hihihi. Tapi, Ahamdulillah banget Naia bener2 pinter dan ngerti kalau diberi pengertian apapun.

Awalnya, saya selalu pakai popok kain juga ke Naia sejak lahir. Tadinya mau selalu pakai popok kain atau celana kain aja, bukan pampers kalau di rumah. Tapi sejak dia bisa gangsrot *apa dah bahasa halusnya??* sekitar umurnya 6 bulanan, saya jadi takut kalau dia pipis di mana-mana, jadilah saya pakaikan pampers juga walupun di rumah. Nah, sejak 9 bulan yang lalu, tepatnya waktu Naia berumur 15 bulan *iyap, berarti dia sekarang tepat 24 bulan alias 2 tahun, huaah, cepatnyaaa* tekad saya sangat kuat untuk mengajarkan dia toilet training. Saya jadi benar-benar siap banget kalau dia bakal pipis di mana-mana dan sudah siap mengamati tanda-tanda dia mau pipis juga sambil terus memberi arahan dan pengertian kalau seharusnya pipis atau BAB itu di kamar mandi.

Lalu bagaimana hasil toilet trainingnya?

Balita Senang, Kita Nyaman

Sewaktu umur keponakan saya belum menginjak usia 5 tahun alias masih balita, saya menyaksikan sendiri bagaimana keingintahuannya dan kreativitasnya berkembang. Apalagi saat mereka baru pertama kali diberi pulpen atau semacamnya. Mereka jadi berpikir bisa corat-coret seenaknya deh di mana-mana. Tembok rumah ibu saya pun bisa jadi korban. Dan saya yang tinggal di dalamnya jadi risih sendiri melihat tembok yang tidak bersih rapi. Tapi mau diapain lagi, namanya juga balita yang masih suka corat-coret di mana-mana.

524606342_2a788d5da9

Image by Toni Verdú Carbó on Flickr

Saya jadi berpikir gimana supaya anak saya nanti gak corat-coret sembarangan di tembok begitu. Bikin saya gak nyamaaan euy rumah penuh coretan, huhu. Bagusnya sih diberi arahan sebaiknya mereka boleh nulis itu di mana saja. Saya pernah lho mempraktekkannya langsung ke anak tetangga, itung-itung uji coba lah sebelum ke anak sendiri, hihi. Dia meminta pulpen karena ingin menulis-nulis sesuatu. Saya kasih deh dia pulpen tapi dengan perjanjian kalau hanya boleh menulis di kertas atau buku yang saya kasih aja *alias buku kakaknya* dan kalau dia menulis di tempat selain itu, pulpennya saya ambil lagi. Dia setuju dan berhasil, gak ada tuh coretan di tembok.

Tapii coretan di tembok kan bisa jadi bagus juga yaa

[Parenting] Perhatian itu Penting!

Baru saja kemarin saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan kalau kasus pembunuhan yang baru-baru ini ramai terdengar merupakan ketidaksengajaan. Yap, pembunuhan remaja perempuan yang bernama Ade Sara Angelina (18) yang itu. Yang dibunuh oleh mantan pacar dengan pacar barunya si mantan, yang ternyata adalah teman satu SMA.

Memang saya menyetujui kalau terbunuhnya Sara mungkin ketidaksengajaan. Namun saya tetap tidak bisa membenarkan tindakan penganiayaan terhadapnya. Bahkan bisa dibilang saya mengutuk tindakan seperti itu. Walaupun mungkin Sara tidak sengaja terbunuh, mereka tetap merencanakan tindakan kejahatan untuk menyiksanya. Dan hal itu adalah tindakan yang sangat buruk. Mereka tidak bisa memperkirakan apa dampak negatif dari rencana jahat mereka. Mereka tidak bisa memperkirakan konsekuensi dari tindakannya.

Dan, beberapa waktu yang lalu saya membatin kalau…

[Parenting] Kebiasaan Buruk 9, Menakuti Anak

Terkadang demi membuat anak kita diam dan tenang dari tangisannya, kita malah menakut-nakutinya dengan hal yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Seperti saat anak tidak henti-hentinya menangis, orangtua malah bilang padanya “Diem gak? Nanti mama bawa ke dokter ya biar disuntik” atau “Hadeuh, nanti mama panggil polisi nih ya biar kamu diem”. Atau malah ada yang menakut-nakutinya dengan hantu-hantuan atau hal-hal yang berbau mistis, hiiy.

scaring (1)

Image by Beth Jusino on Flickr

Mungkin memang dengan begitu anak akan berhenti menangis, tapi

[Parenting] Kebiasaan Buruk 8, Campur Tangan Pihak Lain

Ada yang masih tinggal dengan orangtua walaupun sudah punya 1 atau 2 anak? Pasti ada lah yaa, hehe. Tapi sering gak sih kita gak kompak sama orangtua masalah pengasuhan anak kita? Misalnya saja, kita sedang mengajarkan anak bertanggung jawab dengan membiarkannya mengambil lap dan membersihkan sendiri tumpahan susu yang tadi diminumnya. Tapi tiba-tiba si nenek *ibu mertua atau ibu kita sendiri* melihat itu dan langsung menghentikan aksi cucu kecilnya itu. Beliau berkata, “ealah, mau ngapain bawa2 lap itu? udah, nanti biar bibi aja yang beresin, kamu main aja gih sana”. Nah lho, padahal kitanya ada di situ, tapi si nenek “mengambil alih” kewenangan kita terhadap anak.

Kita biasanya ya cuman ngedumel dalem hati karena gak enak untuk menegurnya. Atau merasa capek untuk sekedar menjelaskan alasan kita. Siapapun yang tinggal di rumah sebetulnya bisa banget melakukan ini. Mereka ngerasa gak tega, kok ya anak kecil disuruh-suruh ngerjain kerjaan rumah gitu atau kok ya anak kecil gak dibantu. Padahal maksud kita kan baik, demi mengajarkannya tanggung jawab dan kemandirian. Tapi kok ya pihak lain rasanya gak mau tinggal diam dan selalu mau menginterupsi cara kita.

Gangguan Pihak Lain

Image by Wayne Large on Flickr

Terus gimana donk menyikapi hal ini?