Siang itu saya asik menjemur sambil melihat Naia (2y 10m) bermain sama teman-temannya di rumah. Aah, nikmatnya hidup, batin saya. Padahal pagi harinya emosi saya sedikit tidak stabil karena sudah memasuki masa PMS 🙁
Tapi Alhamdulillah siang itu Naia bisa diajak bekerja sama. Saat saya menjemur, dia mengajak Aska dan Amar (anak tetangga yang seumuran sama Naia) bermain masak2an, hihi. Lumayaan, waktu saya jadi sedikit longgar kalau dia asik bermain sendiri gitu bareng temennya, jadi menjemur bisa lebih cepet deh 😀
Nah, saat selesai menjemur itu saya kaget dengan adanya cairan kuning di bawah meja dapur. Aaaarrggh, karena hormon sedang tinggi, jadilah saya langsung sedikit emosi dan langsung mengasumsikan kalau itu adalah cairan pipis.
“Ya ampuuun, siapa ini yang pipis?” *tanya saya sedikit emosi*
“Aska pipis ya? Amar? Apa Naia yang pipis?” *masih dengan emosi yang langsung dijawab oleh Aska dan Amar dengan gelengan*
“Naia ambil sendooookk” *jawab Naia akhirnya sedikit berteriak* ini karena emaknya agak teriak juga nih, huhuhu.
Siapa yang sudah mengenal Home Education dan melaksanakannya di rumah? Banyak ya? hehehe. Kebetulan di bawah ini adalah infografis mengenai sedikit pengenalan apa itu HE.
Oiya, sedikit cerita bagaimana akhirnya saya bisa memposting ini. Saat saya sedang ingin mendalami suatu hal itu rasanya emang semesta kaya bersatu padu nunjukin jalannya deh. Kebetulan saya memang sedang ingin mendalami parenting. Modal banget soalnya buat mengasuh anak. Sudah dari sejak Naia lahir sih sebetulnya saya mulai menyelami itu. Tapi awal tahun ini Alhamdulillah banget saya dapet info dan bisa bergabung di group WhatsApp mengenai pelajaran parenting itu. Khususnya sih mengenai Home Education (HE). Di grup tersebut ada waktu-waktu tertentu pengisi materi hadir untuk memberikan “kuliah” mengenai HE dan segala hal mengenai pengasuhan anak yang benar.
Sebetulnya untuk para anggotanya itu diharuskan meringkas materi yang sudah diberikan oleh pengisinya. Biar makin banyak orang tua yang membaca dan makin banyak orang tua yang makin pinter dalam mengasuh anak, hehehe. Nah, ceritanya sih di postingan ini saya itu ngerjain PRnya grup, hihi. Ini PR mengenai ringkasan materi pertama. Lagi-lagi saya bikin seperti ini supaya saya jadi gak males lagi buat mengulang materi ini plus jadi cepet ingat dan menempel di otak 😀
Buat yang mau tau juga, silakan disimak lho ya. Semoga bermanfaat 😉
Hihi, pernah mengikuti seminar Ibu Elly Risman Musa, S. Psi. itu menurut saya suatu keberuntungan banget. Karena seminar itu, saya jadi belajar terus gimana cara komunikasi yang enak sama Naia. Ikutan seminarnya juga udah lama sih, tapi ada yang masih terus diingat di kepala ini. Yaitu mengenai kekeliruan-kekeliruan orangtua dalam berkomunikasi dengan anak.
Ringkasan seminar itu juga sudah saya posting di blog sebetulnya. Tepatnya di postingan yang ini. Tapi karena udah lama banget, jadi udah kelewat gitu aja deh postingannya. Nah, kemarin saya dapet lagi sharing dari grup WA. Materi yang sama yang didapat dari sumber yang sama namun dari seminar yang lebih baru. Setelah saya baca, isinya sama persis. Yasudah deh saya iseng membuat infografisnya. Ini saya buat sebetunya supaya saya bisa lebih mudah mengerti dan nempel banget di kepala. Saya lebih mau membaca dengan tampilan yang kayak begini soalnya, hehe. Semoga infografis ini bermanfaat yaaa.
Berhubung Naia setiap bulan beli susu yang kardusan, setelah susunya habis kita jadi punya limbah lumayan banyak kardus bekas deh. Saya sih membuangnya di plastik khusus barang2 yang bisa didaur ulang biar bisa langsung dikasih ke pemulung. Tapi, banyak kardus gitu kok ya bikin saya pengen bikin sesuatu yah dari kardus2 itu. Entah mainan Naia atau sesuatu yang berguna lah.
Akhirnya niat membuat sesuatu itu gak cuma niat tapi sedikit sedikit dilaksanakan, hihi. Sampai sekarang barang-barang ini lah yang berhasil saya bikin dari memanfaatkan kardus bekas tadi. Oiya, gak cuma kardus besar sih, karton bekas susu atau biskuit juga saya manfaatkan kalau sedang iseng, hehe 😀
Here goes the list:
1. Mainan Warna
6 Warna
Yang ini pernah saya ceritakan di sini sih. Saya pakai karton bekas bungkus pasta instan (baca: spageti La Fonte xp). Naia jadi bisa belajar mengenal lebih jauh tentang warna dari sini. Saat saya bikin inipun sebetulnya dia sudah lumayan mengenal warna sih, dia sudah hafal warna hitam dan merah. Tapi, berkat ini, dia jadi hafal semua warna yang saya bikin itu deh. Sekarang malah berlanjut ke warna-warna yang bukan warna primer seperti pink, ungu, dan coklat. Dia malah sekarang sudah bisa membedakan dan menyebutkan mana hijau tua mana hijau muda, hihi. Alhamdulillah ya nak, mainan kamu gak mahal 😛
Akhir-akhir ini saya mulai mengajarkan ke Naia kalau sedang main ingin beranjak ke permainan selanjutnya, dia harus merapikan mainannya saat ini terlebih dahulu. Bukan obsesi supaya rumah rapi ya, tapi ya biar dia belajar bertanggung jawab. Pun saat dia ingin membawa sesuatu saat saya pergi. Saya memberinya tanggung jawab penuh akan apa yang dibawanya itu.
Saat weekend kemarin misalnya, dia lagi seneng-senengnya banget tidur sama Soothe & Glow Seahorse™ (sekarang dinamakan kula oleh kami, hihi) yang didapet dari Fisher-Price waktu itu, jadilah saat ingin menginap di rumah eyang atau utinya dia selalu ingin membawanya. Yasudah, saya ijinkan asal dia ingat untuk membawa pulang kembali. Di rumah utinya si Kula jadi ketemu sama saudaranya deh, hahaha. Alhamdulillah sebelum pulang dia ingat sekali apa yang dibawanya saat itu. Dia mencari2 dimana si kula berada. Sebelumnya saat dia lagi seneng banget main puzzle juga gitu. Puzzle-nya dibawaa terus sampai kemanapun. Sampai sekarang juga masih sih. Kalau saya sedang ingin mengajaknya ke acara yang saya nikmati ya dia membawa puzzle-nya untuk dimainkan agar tidak bosan.
Waktu remaja pernah gak sih berselisih faham sama orang tua? Terus kalau sudah begitu, hubungan kalian gimana?
Saya sih Alhamdulillah gak pernah dulu, tapi lumayan sering ngeliat yang kayak gini, kakak saya kayanya pernah deh. Nah, keadaan begitu harusnya sih gak boleh lama-lama ya. Ya tau sendiri kan kalo sebel-sebelan sama orang itu jadi gimana? Hubungannya akan renggang. Gak heran kalau lihat banyak yang sudah dewasa pun agak gimana-gimana gitu sama orangtuanya. 🙁
Ternyata sebagai orang tua, kita jangan gengsi untuk menyapa duluan. Malah, kita bisa jadi contoh buat mereka kelak kalau bisa jadi orang yang mau memperbaiki hubungan serta gak segan untuk minta maaf kalau salah.
“Ma, atel ma”, kata Naia suatu petang.
“Gatel apanya?”
“Inii” *sambil nungging nunjuk daerah anus.
“Coba sini mama cek”
Setelah ngecek gak ada apa-apa. “Coba mama kasih bedak ya supaya gak gatel lagi”
“Yaa”
—Malam harinya—
“Atiiitt”, kata Naia sebelum beranjak tidur. Kali ini dia menunjuk2 bagian anus ke depan mendekati vagina dan terlihat sangat kesakitan.
“Coba sini buka celananya, mama cek”
Dan, jeng jeeeng… Begitu kagetnya saya saat mendapati ada 2 cacing kecil sedang berjalan menuju vagina. Salah satunya malah sudah berada di mulut vagina, itulah yang membuat Naia sangat kesakitan. Setelah browsing sebentar baru saya ketahui itu adalah cacing kremi, hiiy. Pantas saja saat petang hari dia merasa gatal di sekitar anus, mungkin saat itu cacing-cacingnya menetas dan siap melancarkan aksinya yang lain.
Saat itu saya betul-betul shock, panik, dan speachless mengetahui kenyataan kalau Naia cacingan! huaaa. Malu pada suami, malu pada diri sendiri, terlebih lagi malu pada Allah karena tidak bisa menjaga amanahNya ini. Seketika itu juga saya berpikir kenapa Naia bisa cacingan.
Kemarin saya dikagetkan dengan salah satu tulisan di mommiesdaily yang berjudul “Jangan Memuji Anak” dan ditulis oleh mbak Lita. Dibuat penasaran dengan judulnya yang cukup anti mainstream, dimana semua orangtua ramai-ramai justru ingin banyak-banyak memuji anak, saya akhirnya membacanya sampai akhir.
Setelah membaca dan paham akan alasannya, saya jadi teringat dengan artikel “Why I’ll never tell my son he’s smart” dan video TEDx yang pernah saya tonton mengenai growth vs fixed mindset. Video TEDx berdurasi 11 menit itu cukup membuka mata saya akan adanya perbedaan yang menonjol tentang seorang yang sukses dengan yang tidak. Perbedaan tersebut ada pada pikiran bawah sadar mereka. Orang-orang sukses kebanyakan cenderung memiliki growth mindset. Sebaliknya, orang-orang yang biasa saja sepintar apapun dia cenderung memiliki fixed mindset.
Untuk melatih kedisiplinan Naia saya lebih suka dengan kesepakatan, bukannya hukuman. Karena menurut saya sendiri sih, bersepakat itu komunikasi yang paling baik yang dilakukan oleh orangtua. Soalnya dengan kesepakatan, kita memikirkan perasaan anak serta menentukan dan membuat anak berusaha dengan keinginannya sendiri. Malah kalau anak sudah lebih jago lagi, dia deh yang mengajukan kesepakatan itu, hehehe.
Sudah cukup lama saya menerapkan ini ke Naia, sejak umur 1 tahunan lah *apa kurang ya, lupa*. Pokoknya, sebelum dia lancar berbicara dan berkomunikasi seperti sekarang, saya memperhatikan ekspresi mukanya saja. Kalau ia senang berarti ia setuju dengan kesepakatan yang saya ajukan. Tapi, kalau mukanya terlihat BT, ya kesepakatannya berarti tidak cukup bagus, saya harus merevisinya deh.
Seperti pelajaran kecewa yang pernah saya tulis juga, kesepakatan sebetulnya mengajarkan tentang kekecewaan, tentang tanggung jawab, dan usaha. Kekecewaan apabila “upah” akan usahanya tertunda atau terpaksa tidak diberikan karena tidak tuntas berusaha. Tanggung jawab saat ia bisa melakukan yang memang seharusnya dilakukan dan usaha saat ia betul-betul melakukan apa yang disepakati untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Pernahkah mengalami anak malah marah atau mengamuk saat kita membantunya? Padahal sebelumnya dia yang mengajukan pertanyaan atau meminta perhatian kita dalam masalah yang dihadapinya.
Bisa jadi itu artinya dia cuma mau kita jadi “kamus”. Apa tuh maksudnya jadi kamus? Kita sendiri kalau sedang membutuhkan kamus, yg diharapkan apa? Kita jadi tahu dan jadi lebih mengerti sesuatu. Namun, kamus tidak bisa serta merta ikut campur dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Nah, persis deh itu yg diinginkan anak.
Baruu aja beberapa hari yang lalu saya mengalami ini. Naia (anak saya yang berumur 2,5 tahun) sudah hampir berputus asa dengan mainan mobil yang gk pas disusun di tempatnya (padahal kalo menyusun secara benar, mobil-mobil itu bisa masuk semua ke tempatnya). Nah, dia mencolek saya dan bertanya, ‘mana tempatnya?’ katanya. Dodolnya, saya sama sekali tidak berpikir kalau cuma dilibatkan sebagai kamus, jadi saya memberitahu solusinya sambil membukakan jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi Naia bukannya seneng malah ngamuk. Mobilnya jadi malah berantakan semua karena dikeluarkan lagi dari tempatnya 🙁
Saya diam saja menunggu dia tenang sendiri. Setelah tenang, tidak lama dia main lagi dan masalah yang sama kemudian muncul. Dia bertanya lagi pada saya.
Kali ini saya sadar kalau saya cuma dibutuhkan sebagai kamus, jadi ya saya hanya berkata “mobilnya gk muat karena ada 2 tempat kosong yg berjauhan, harusnya sebelahan supaya mobilnya muat”, sudah. Saya hanya memberitahu demikian tanpa ikut campur dalam penyelesaian masalahnya. Dia lalu mencoba lagi sambil mencari cara terbaik agar tempat yang tersedia bisa bersebelahan. Berhasil! Dan dia jadi seneng bangettt.
Sayanya lebih senang karena udah engeh harus gimana dan senang krn dia mau berusaha nyelesein masalahnya sendiri.
Begitu juga saat dia sedang bermain puzzle. Memang bukan puzzle yang sulit banget sih, tapi lumayan lah untuk anak seusianya, 2 tahun 6 bulan. Dia cuma mau saya jadi “kamus” lagi. Nanya ini gimana itu gimana cuma agar saya mengarahkannya saja, sisanya dia selesaikan sendiri. Lagi-lagi dia puas dan senang sekali saat berhasil menyelesaikan sekian banyak puzzle yang dia punya. Saya sendiri sampai heran dan kagum akan kegigihannya menyelesaikan ke-14 puzzle yang dia punya.
Dengan hanya menjadi “kamus” begini untuk anak, sedikit banyak kita telah mengajarkan kemandirian dan juga rasa percaya dirinya. Kemandirian menyelesaikan masalah tanpa bergantung pada orang lain dan rasa percaya diri karena sudah berhasil menyelesaikan masalahnya SENDIRIAN. ^^
Menjadi orangtua, (terlebih orangtua baru yaa, yang baru melahirkan gituu) itu gak enak tapi enak. Lhoo, kok kontradiksi sih, hahaha. Gak enaknya sih saat menghadapi anak yang rewel atau saat kita terjaga sepanjang malam demi anak, atau saat-saat membersihkan kotorannya yaa. Tapii enaknya lebih banyaaak. Salah satunya itu kita seakan-akan punya “mainan” baru. Malah, saat anaknya sudah bisa diajak bermain, kita jadi ikutan mainan deh ama mereka. Asik kaan? Udah segede gini masiih aja mainan dan terkadang melakukan hal konyol demi anak kita ketawa dan ceria lagi, hihi.
Ya habiis, dunia mereka kan memang dunia bermain yaa? Mereka bermain bukan sekedar main sih, tapi lebih dari itu. Mereka belajar dan mengembangkan keterampilannya serta mengasah kemampuan otaknya lewat bermain. Iya, anak-anak mengembangkan dan mengasah kemampuan otaknya tidak hanya saat mereka tidur, tapi juga saat mereka bermain. Karena, aktivitas paling penting dari anak itu adalah tidur, bermain, dan mengobrol. Jadi, pastikan deh anak kita maksimal dalam ketiga aktivitas tersebut.
Saya jadi gak heran kalau jaman sekarang makin banyak orangtua yang sanggup memberikan waktu berkualitasnya untuk bermain sama anak. Ya demi itu tadi, demi memaksimalkan perkembangan otaknya. Malah banyak juga yang bikin mainan sendiri untuk anaknya. Saya juga pernah sih beberapa kali bikin mainan sendiri dari barang bekas, ya sambil iseng juga gitu di rumah, hehehe. Alhamdulillahnya sih dimainkan sama Naia. Tapi namanya dari barang bekas, ya umurnya juga gak lama. Paling lama itu seminggu mainannya juga udah gak dimainkan lagi, hahaha.
Tapi banyak juga kok mainan yang beli. Kebanyakan sih bukan kita sendiri yang beliin, tapi hadiah dari yangti-utinya. Tau kan ya kalo nenek-nenek itu emang sayaaang banget sama cucunya, hihihi. Jadi ya gitu deh, jarang banget kita membeli mainan untuk Naia, keseringan buku, karena kami ingin merangsang Naia agar suka membaca juga. Nah, saat saya mudik ke Semarang bareng keluarga suami, ada sepupu yang membelikan anaknya story book rhymes -semacam buku tapi ada lagu-lagunya gitu deh-. Sejak itu saya kepincut banget, pengen beliin juga buat Naia. Dasar emang saya orangnya pelupa pake banget, ya ampe sekarang gak terlaksana deh niat itu, huhuhu.
Naia punya geng motor? Punya doonk.. Beserta teman sebayanya yang ada di rumah, dia membentuk sebuah geng motor, hihihi.
Geng Motor Naia
Geng ini sering touring, paling jauh sampai atas tanjakan deket rumah, hahaha. Saya juga gak tau sih kapan pastinya pembentukan geng motor ini. Yang pasti, setiap dia keluar, pasti deh bawa motor kesayangannya terus manggil2 temennya, Amar & Aska. Kalaupun dia gak keluar, ya mereka deh yang nyamperin ke rumah. xp
Nyamperin Temennya
Aktivitas paling sering adalah balapan. Bukan balapan liar doonk.. karena diawasi oleh kami para orangtua, hihihi. Itu juga balapannya bolak balik kontrakan saya – rumahnya Amar, udah. Jaraknya gak sampe 10 meter kook, jadi insyaAllah masih amaaan 😀
Eeh, pernah juga lho mereka memodifikasi motor sendiri. Modifikasinya simple banget kok, cuma nempel2in stiker aja. Tapiii, motor yang jadi korban modifikasi ituh motornya Naia, hadeuh -_- Eniwei, yang penting kalian bahagia lah, haha.
Pernah menghukum anak yang “berulah” atau tantrum dengan memberinya time out?Sepertinya memang itu salah satu *salah satu lho ya* metode yang kita tau ya untuk menghukum anak. Maksudnya baik, agar dalam kesendiriannya, si anak bisa menenangkan diri, menyadari kesalahannya, serta introspeksi untuk bisa lebih baik lagi. Sebelum punya anak saya juga kepikiran sih mau menerapkan metode time out ini.
Tapi, beberapa waktu lalu suami saya memberi saya artikel yang cukup bagus dan cukup membuat saya berpikir ulang untuk menerapkan metode ini. Artikel tersebut berjudul “‘Time-Outs’ Are Hurting Your Child” dan berisi mengenai apa sebenarnya yang diterima oleh anak saat menghadapi hukuman time out ini.
Maksud kita sebenarnya baik sih, agar si anak bisa introspeksi dan menyadari kesalahannya. Malah metode ini memang sudah banyak diterapkan baik di budaya Barat sana maupun di budaya Timur sini. Tidak sedikit juga ahli parenting yang merekomendasikan metode ini, malah di Nanny 911 juga menerapkan hal ini kan? hehe. Namun apa metode ini bagus buat perkembangan anak? Efektif gak sih sebetulnya?
Sewaktu berkumpul bersama sahabat-sahabat saya, ada salah satu anak ~yang baru berumur 3 tahun~ dari sahabat saya yang matanya pasti akan langsung tertuju dengan gadget yang ada di tangan orang sekitarnya. Bisa punya ayahnya, ibunya, bahkan milik teman-teman orangtuanya sendiri. Setiap melihat ada gadget di dekatnya, tangannya secepat kilat menyambar dan langsung memainkanya. Hummm sampai segitunya ya kalau sudah dikenalkan gadget.
Saya lalu teringat cerita lain dimana saat satu keluarga makan di pusat perbelanjaan, anak yang mereka ajak terlihat sudah bosan dan lapar sehingga mulai “berulah”. Ia menjadi tidak tenang dan hampir tantrum. Sesaat sebelum ia tantrum, orangtuanya mengambilkan tablet dari tas mereka dan langsung diberikan kepada si anak. Walhasil si anak langsung terdiam dan menjadi anteng deh.
Banyak ya sekarang orangtua yang seperti itu? Menjadikan gadget sebagai alat pendiam dan “penutup mulut”. Atau malah bisa dibilang jadi “pengasuh ketiga”nya anak, hihi. Sebelum adanya gadget-gadget canggih seperti sekarang, sebetulnya orangtua juga sudah banyak sih yang menjadikan alat elektronik sebagai “pengasuh ketiga” anak, yaitu TV. Sayangnya TV tidak bisa diajak dan dibawa kemana-mana saat itu serta bentuknya yang kurang bersahabat bagi tangan anak. Nah, karena gadget sekarang bisa dipegang langsung sama anak dan bisa dibawa kemana-mana, jadilah ia bisa menjadi “pengasuh ketiga” setiap saat dan di setiap tempat.
Sebetulnya sih sah-sah saja untuk memperkenalkan gadget ke anak sejak dini. Maklum, jaman sekarang kan memang anak sudah terpapar gadget sejak ia lahir sehingga ia menjadi generasi digital native. Yaitu orang yang sejak kecil mengenal gadget dan internet serta dengan cepat belajar fitur gadget. Nah, kita sendiri adalah generasi digital migrant. Dimana kita memang sudah mengenal beberapa alat digital atau gadget namun tidak separah dan sebanyak sekarang.
Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.
Iya, sih. Tapi, mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.
Dari dulu saya memang suka sekali untuk mengambil pelajaran dari kisah2. Bukan kisah yang berat2 seperti kisah Einstein atau ilmuwan lainnya sih *walaupun pada akhirnya tertarik juga membaca kisah hidup mereka, hehe*, novel remaja atau kumpulan cerpen saja sudah cukup. Karena jujur saja, waktu saya remaja, saya mendapat banyak pelajaran dari cerpennya Asma Nadia. Pelajaran bagaimana menghargai orang, pelajaran mengenai islam lebih lanjut, dan masih banyak pelajaran lainnya. Karena ini pula saya suka banget sama “Teka-teki Terakhir“nya Annisa Ihsani yang sarat akan ilmu Matematika.
Berhubung saya udah punya anak, saya lalu jadi concern banget sama segala sesuatu yang berbau parenting atau pengasuhan. Sejak Naia lahir, semangat saya jadi sangat terpacu untuk mempelajari segala hal mengenai pengasuhan, baik dari internet maupun membeli buku2 fisiknya. Saya sampai ikut gabung di milis parenting, subscribe di website parenting juga, sampai mengikuti webinar *seminar melalui web* terkait gaya pengasuhan yang sesuai. Nah, hal yang menarik adalah: saya belum menemukan topik parenting ini dibahas dan dijadikan tema utama dalam sebuah novel. Ingat ya, belum. Belumnya saya bukan berarti bukunya memang belum ada, mungkin ada hanya saya saja yang belum menemuinya. Karena itulah saya bertekad mau menulis sebuah cerita dengan tema utamanya pengasuhan tadi.
Lalu tetiba semalam saya mendapati buku ini di kamar adik ipar. Dan secara tidak sengaja, sambil ngelonin Naia, saya membacanya iseng saja. Tidak disangka, buku ini sangat bagus dan saya jadi menunda waktu tidur saya demi menyelesaikan membacanya. Buku ini bisa dibilang merupakan buku “impian” saya *lebay yah? Emang! hehe*. Saya bisa belajar lebih banyak mengenai hal yang saya ingin tahu dengan membaca kisah seperti ini. Alhamdulillah sudah ada yang bikin. Berikutnya saya juga mau lho bikin novel kaya gini, saya masukkan dalam salah satu capaian saya malah. Semoga terwujud suatu hari nanti. Aamiin *ayo amini yang keras sodara2 😀