Postingan ini betul-betul reblog dari artikel di Parents Guide dengan judul yang sama. Hal ini juga yang ditekankan oleh Toge Aprilianto, agar anak menjadi mandiri dengan mengatasi masalahnya sendiri.
“Bermain air basah, bermain api hangus.” Masih ingatkah pada pepatah lama ini? Benar, tiap perbuatan manusia memang selalu diikuti akibat. Datang terlambat di kantor ditegur. Telat bayar tagihan kartu kredit didenda. Kadang kita berusaha tidak peduli. Tapi setelah satu-dua kali terantuk akibat – apalagi kalau akibatnya berat – biasanya kita jera.
Hal serupa berlaku di dunia anak-anak. Tulisan ini membahas bagaimana membuat anak mengambil pelajaran dari konsekuensi perbuatannya. Ada dua jenis konsekuensi tiap perbuatan: alamiah dan logis.
Saat Naia berumur 10 bulan pernah dia main di rumah ibu saya. Saking asiknya bermain, kepalanya sampai kejedot *bahasa bagusnya sih terbentur, hehee* lemari lalu menangis. Ibu saya lalu mendiamkannya sambil memukul2kan lemari itu dan bilang “lemarinya nakal ya, uh, uh. dah, udah dipukul ya lemarinya”.
Miris ya dengan pola pengasuhan yang sebagian besar ada di Indonesia ini. Dari kecil sudah diajarkan untuk selalu menyalahkan orang lain atau menyalahkan keadaan, bukannya introspeksi diri. Saat sudah dewasa, ya mau menyadari kesalahan bagaimana, lha wong dari kecil sudah terbentuk bahwa dirinya gak pernah salah kok.
Walaupun saya gak tau kata-kata yang seharusnya itu bagaimana, tapi saya selalu menghindari dan menjelaskan kalau tidak ada yang bisa disalahkan. Jadi saat itu saya langsung bilang gak ada yang nakal dan gak ada yang bisa disalahkan. Lemari kan gak bisa kemana-mana dan gak bisa memukul Naia, jadi lemari gak salah. Sakit? Ya sakit kalau kepala kita terbentur sesuatu yang keras.
Di lain waktu saat Naia bermain dengan senang baru saya “iklanin” pentingnya berhati-hati. Ya mengajarkan kehati-hatian ini memang tidak mudah juga dan tidak cukup sekali sih, perlu di”iklan”kan berulang-ulang kali, maka itu kita perlu cadangan sabar yang tak terhingga, hehe. Sampai sekarang walaupun Naia terkadang masih terjatuh dan kejedot, dia cuma cerita tanpa menyalahkan hal lain dan saya juga cuma bilang sakit sambil mengobati yang sakit tadi.
Tidak lupa saya juga bicara baik-baik dengan ibu saya kalau tindakannya bisa mengakibatkan Naia selalu menyalahkan orang lain. Pelan-pelan ibu saya mengerti juga dan Alhamdulillah sekarang sudah tidak seperti itu terhadap Naia :).
Mengajarkan untuk menjadi orang yang tidak pernah salah ini termasuk salah satu kebiasaan salah orangtua di buku karangan Ayah Edi berjudul “Mengapa anak saya suka melawan dan susah diatur?”. Di postingan 37 kebiasaan saya sudah menyebutkan apa-apa saja kebiasaan-kebiasaan yang salah itu dan kebiasaan ini disebut paling pertama dengan judul “Raja yang tak pernah salah”.
Berjudul seperti itu karena kebiasaan kecil yang sering tidak kita (orangtua) sadari bisa menjadikan dia seperti raja yang sombong yang tidak pernah mau disalahkan. Jadi yuk, para orangtua, hindarkan kebiasaan kecil yang menyebabkan anak selalu menyalahkan orang lain atau keadaan ini. Saat menjadi orangtua saatnya berhati-hati dengan segala yang kita lakukan :D.
Hum, sebenarnya lanjutan dari tujuan pengasuhan itu adalah gaya pengasuhan. Dengan adanya kesepakatan tujuan pengasuhan antar suami istri, selanjutnya ya menerapkan gaya pengasuhan seperti apa yang cocok. Sebelumnya saya memang pernah menuliskan 4 gaya pengasuhan menurut Diana Baumrind. Namun, saya berniat untuk menuliskannya lagi, mungkin lain waktu 😀
Sekarang saya ingin berbagi kunci utama yang harus dimiliki oleh orangtua menurut pengalaman dan pengamatan saya sendiri. Kuncinya itu ada dari dalam hati, cieeeh. Maksudnya, kuncinya adalah sifat yang harus ~banget kayanya~ dimiliki oleh orangtua.
Menurut saya ya, kunci itu adalah ikhlas, sabar, dan percaya saja. Dengan tiga hal itu, perjalanan mengasuh buah hati (termasuk mendidiknya menjadi orang yang bertanggung jawab) menjadi ringan dan mudah.
Sabar
Saya sendiri merasa masih kurang bisa sabar dalam menghadapi buah hati. Memang pelajaran sabar dan ikhlas itu adalah pelajaran hidup yang paling sulit kan? hehe. Tapii, kurang sabar saya masih bisa saya kendalikan, Alhamdulillaah *semoga semakin bisa sabar*. Jadi kalau terasa sedikit kehilangan kesabaran ~belum sampai tahap emosi~ saya biasanya berdiam diri dulu sedangkan anak bermain bersama papanya. Atau, kalaupun di rumah sedang hanya berdua saja, ya saya berdiam diri dengan anak bermain sendiri. Kalau dia tidak bisa bermain sendiri dan terus merengek ke saya, biasanya saya tetap diam namun melakukan apa yang diinginkan oleh anak sambil memberinya pengertian “mama sedang butuh waktu sendiri, sebentar saja, sampai mama ajak Naia main lagi”. Ya, kalau yang baru saja menerapkan pengertian begitu mimpi sih kalau anaknya bisa langsung mengerti dan langsung anteng main sendiri lagi. Tapi, kalau kita memang terbiasa berdialog begitu, biasanya anak bisa langsung mengerti dan bermain sendiri lagi.
Sabar Menunggu Naia Baca Buku
Sabar itu benar-benar sangat diperlukan ketika kita mengajarkan anak mandiri. Ya misalkan saja mengajarkan anak untuk bisa makan sendiri, atau dia sudah ingin melakukannya sendiri walau kita masih ingin menyuapinya. Nah, nungguin anak makan itu gak sebentar. Walaupun kita juga ikutan makan, anak ya selesai makannya jauh lebih lama ketimbang kita. Belum lagi kalau berantakan *ini sih pasti ya, hehehe*. Berhubung koordinasi tangannya belum sempurna, ya ada lah nasi atau lauk yang terlempar kesana kemari 😛
Hal yang sama juga berlaku ketika menemani anak bermain. Harus sabar mengikuti kemana anak pergi dan mau main apa, asal yang aman-aman saja. Pokoknya bagi saya dan suami, selama hal itu aman ya kita tidak pernah akan melarang agar hasrat keingintahuannya tidak dibatasi. Tapi, memang kita gak pernah melarang sih, paling-paling kalau sudah tidak aman, ya anaknya kita amankan/ jauhkan dari tempat itu lalu diberi pengertian kenapa gak boleh kesitu.
Benar! Orangtua juga harus sabar dalam memberi pengertian dan menjawab segala pertanyaan anak. Apalagi kalau anak sudah tahap “cerewet-cerewetnya”, ya kita harus sabar selalu mendengarkan ceritanya berulang kali, juga harus sabar menjawab pertanyaannya yang berulang kali. Dari situlah anak belajar, melalui pengulangan. Tapi, kalau kita capek menjawab gimana? Coba saja ajak anak mencari tau jawabannya sendiri, mungkin dengan begitu akan langsung tertanam di otaknya mengenai jawaban pertanyaannya itu hehehe.
Ikhlas
Nah, ini nih salah satu yang mudah dibicarakan tetapi paling suliit dilakukan. Hum, maksudnya ikhlas dalam mengasuh anak itu ya kita gak perlu memikirkan apa yang nanti akan diberikan ke kita. Ikhlas menjalani dan menjaga amanah yang dimiliki. Dengan terus adanya rasa ikhlas ini, rasanya sabar akan selalu mengiringi.
Ikhlas juga maksudnya menerima hasil yang diberikan oleh anak. Seperti dalam hal belajar makan sendiri, kita ya ikhlas saja dengan hasil nasi yang tercecer dan berantakan di lantai, toh bisa kita bereskan. Yang penting kita sudah meningkatkan kepercayaan dirinya untuk makan sendiri. Selanjutnya kemampuan makan sendirinya pasti meningkat, jadi sedikit yang tercecer dan lama-lama ya sepenuhnya bisa makan sendiri tanpa ada yang tercecer.
Keikhlasan tetap diperlukan juga lho dalam mengajari tanggung jawab. Misalnya saja, dia harus membereskan mainannya setelah bermain atau sebelum tidur. Nah, kita cukup memberi tahu kalau dia harus membereskan mainan (kalau perlu ya kita bantu sedikit). Ikhlas dengan hasil yang diperoleh anak. Mungkin kita tidak puas dengan penyusunan mainannya, tapi toh dia sudah belajar bertanggung jawab, jadi ya ikhlas saja dengan hasilnya 😀
Dengan keikhlasan ini juga keinginan untuk bisa menjadi orangtua yang lebih baik lagi semakin berkembang. Dengan begitu, kita jadi terus menerus menambah ilmu kita mengenai pengasuhan yang baik sesuai dengan gaya pengasuhan yang telah disepakati sebelumnya.
Percaya saja
Ini sebenarnya pelajaran dari ruasdito* sih, hehe. Jadi, maksudnya dalam mengajarkan anak kemandirian, kita cukup perlu percaya saja dengan kemampuannya. Dia bisa loh melakukan sesuai dengan harapan kita, bahkan terkadang melebihinya.
Seperti dalam hal membereskan mainan. Kita gak perlu capek-capek teriak dan sekuat tenaga membuatnya membereskan mainannya sendiri. Ya dijelaskan saja kenapa dia harus membereskan mainannya dan itu merupakan tanggung jawabnya dia. Nah, kalau kita percaya saja dia bisa melakukan itu, insyaAllah dia memang bisa. Namun, balik lagi ke sabar. Kita harus sabar karena membereskan mainan tidak semudah yang kita bayangkan 😀
Dia bahkan bisa merapikan sandal yang habis dipakainya untuk bermain di luar. Iya, terkadang saya sendiri jadi malu sama Naia. Sehabis bermain, saat sandalnya saya copot, dia langsung mengambil sandal itu dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di depan rumah kita. Sedangkan saya, saya biasa membiarkan sandal ngejogrok *apa bahasa bagusnya yak* di depan pintu karena merasa nanti akan dipakai lagi, huhu. Akhirnya sekarang-sekarang saya pun langsung meletakkan sandal di rak sepatu. Kalau mau dipake lagi ya tinggal ambil lagi, hehe. Agar kebiasaan baik Naia tidak berubah, saya harus selalu mencontohkannya. Anak belajar dari contoh kan? 😀
*Ruasdito (rute-asuh-didik-toge) ini diperkenalkan oleh Toge Aprilianto, penulis buku “Saatnya Melatih Anakku Berpikir”, buku ringan dan tipis namun isi yang terkandung merupakan pelajaran dan petunjuk pengasuhan anak secara rinci.
Itulah 3 hal paling mendasar yang benar-benar diperlukan oleh orangtua *menurut saya loh*. Kalau merasa ada lagi yang lain, silakan berkomentar yaa. Selamat menikmati menjadi orangtua!
Pertama-tama saya mau mendeklarasikan kalau saya pengen secara aktif memposting hal yang berhubungan dengan parenting. Tujuannya, selain lahan saya belajar ~jadi kalo baca-baca hal parenting dari artikel-artikel mana aja langsung aja saya simpen linknya dan saya reblog dengan bahasa saya sendiri biar lebih paham~ bisa juga lahan buat pengunjung blog saya untuk belajar ilmu parenting juga. Mudah-mudahan dengan bertambahnya konten parenting gini makin banyak orangtua-orangtua muda yang aware akan pentingnya pengasuhan anak.
Kenapa sih pengasuhan anak penting banget? Iya donk, anak itu masa depan kita, masa depan bangsa juga. Mau dibawa kemana bangsa kita kalau kita mengasuh anak dengan sembarangan?
Saya punya tujuan untuk membentuk Indonesia yang lebih baik lagi dari sekarang dengan pelan-pelan menghilangkan KKN dan segala hal buruk yang terjadi di Indonesia. Nah, saya gak bisa sendirian, jadi saya ingin generasi setelah saya juga seperti itu, saya ingin melatih mereka menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, peduli, serta mementingkan kebenaran BUKAN mementingkan diri sendiri. Jadi di tangan generasi peneruslah bisa kita serahkan Indonesia dengan tenang. Dengan membentuk generasi masa depan yang baik, yang benar, yang bertanggung jawab, mungkin insyaAllah ke depannya kita bisa jadi negara yang bebas korupsi. “Indonesia strong from home”, begitu kira-kira kata ayah Edi 😀
Nah, mengenai judul, beberapa waktu lalu suami saya nge-share note facebook seseorang yang menuliskan summary dari seminar parenting ibu Elly Risman. Intinya adalah mengenai tujuan pengasuhan anak.
Kenapa tujuan pengasuhan itu diperlukan? Kalau kita bepergian, kita juga pasti punya tujuan, kalau tidak, kita akan berjalan entah kemana yang akhirnya nyasar dan ketika balik lagi ke rumah, kita tidak mendapat hasil apa-apa, nihil, nol, tidak bermanfaat. Begitulah kalau pengasuhan tidak memiliki tujuan 😀
Karena itu, sebagai orangtua, kita, ibu dan ayah harus terlebih dahulu menyelaraskan tujuan pengasuhan dalam keluarga kita. Seminar tersebut menjelaskan pentingnya tujuan pengasuhan dan menyebutkan beberapa tujuan pengasuhan yang bisa diterapkan. Nah, di bawah ini saya menjelaskan mengenai tujuan-tujuan pengasuhan yang didapat dari seminar itu.
Hamba Allah yang taqwa. Pada anak, yang pertama matang adalah systemlimbic di belakang kepala, system limbic ini berkaitan erat dengan PERASAAN. Jadi ajarkan pada anak rasa beragama dan rasa memiliki Allah. Sama halnya dengan mengajarkan padanya kecerdasan emosi terlebih dahulu. Anak yang dari kecil dikenalkan dengan berbagai macam emosi akan tumbuh menjadi anak yang memiliki empati serta rasa kepedulian tinggi terhadap sesama. Maka, untuk mereka tidaklah penting mengajarkan sebanyak-banyaknya pengetahuan ini-itu, tapi lebih penting mengajarkan PERASAAN. “Indonesia Neuroscience Society merekomendasikan, anak di bawah 4 tahun, salah satu ibu atau bapaknya HARUS dirumah, mendidik anak. Tanggung jawab mendidik agama berada ditangan AYAHNYA, ayah harus ‘alim, dialah penentu GBHK ( Garis Besar Haluan Keluarga), ibu hanya unit pelaksana teknis.”[1]
Calon suami/ istri yang baik. Hal ini berkaitan dengan ketaqwaan tadi, dengan bertaqwa, kita juga mengajarkan bagaimana membentuk rumah tangga yang harmonis dengan menjadi suami/ istri yang baik.
Calon ayah dan ibu yang baik. Nah, hal ini untuk membentuk generasi berikut-dan berikutnya untuk lebih baik lagi. Mereka harus diajarkan dan ditunjukkan peran ibu dan tanggung jawab ayah. Perlu juga untuk mengajarkan fungsi laki-laki dan perempuan atau ibu dan ayah itu berbeda. Yang sangat penting untuk diperhatikan lagi adalah “jangan berantem depan anak”.
Membantu mereka mempunyai ilmu dan keahlian. Inilah yang menjadi fokus perhatian kita selama ini. Banyak rumah tangga yang menjadikan poin inilah satu-satunya tujuan pengasuhan mereka, padahal ini harusnya hanya salah-satu tujuan saja.
Pendidik istri dan anak. Banyak hal buruk yang menjadi akibat dari kurangnya perhatian ayah kepada anak-anaknya. Contohnya saja terjadi pada artikel ini: http://nelotte.wordpress.com/2013/08/22/saya-sudah-ga-perawan-di-usia-sekolah. Hasil studi di harvard: “anak yang ayahnya involved dalam pengasuhan akan tumbuh menjadi anak yg dewasa dan suka menghibur orang, punya harga diri yang tinggi, prestasi akademis di atas rata-rata dan lebih pandai bergaul.” Setidaknya luangkan waktu minimal 30 menit untuk anak tanpa gangguan apapun termasuk gadget, quality time istilah kerennya. Dengan begitu ayah bisa menjalin kedekatan emosi secara langsung dengan anaknya.
Pengayom keluarga. Didik anak laki-laki kita untuk menjadi pengayom orangtua, istri, serta anak-anak mereka. Di pundak laki-laki ada tanggung jawab terhadap 4 wanita yang harus mereka lindungi. 4 wanita tersebut adalah ibu, istri, anak perempuan, dan adik perempuannya, maka penting untuk menekankan hal ini kepada mereka.
Manusia bermanfaat bagi orang lain atau sebagai pendakwah ( penyampai kebenaran). Sama halnya dengan tujuan hidup saya pribadi untuk menjadi manusia yang bermanfaat, saya ingin juga anak-anak saya kelak menjadi orang yang kebermanfaatannya dapat dirasakan banyak orang.
Tulisan lebih lengkap mengenai seminarnya bisa dibaca di sini.
Dari situ, kita bisa belajar kalau tujuan pengasuhan itu penting, biar kita sebagai orangtua punya bayangan akan bagaimana anak kita ke depannya. Dan dengan punya tujuan pengasuhan itu juga, kita jadi bisa merumuskan bagaimana cara pengasuhan yang harus diterapkan ke anak nantinya.
Jadi sebelum melakukan apa-apa, kita memang perlu merumuskan tujuan kita melakukan itu.
So, punya anak emang gak gampang, harus punya ilmunya biar anak gak terbengkalai terabaikan, hehe. Dan anak juga merupakan amanah langsung dari pencipta kita, jadi makin gak bisa sembarangan kita menjaga dan mendidiknya.
Sudahkah kalian menentukan tujuan pengasuhan bagi anak-anak? 😀
Sore-sore iseng browsing pengasuhan anak nemu artikel lama tapi bagus, saya copy aja deh ke sini 😀
Mempunyai anak mandiri, siapa yang tak ingin? Anak yang mandiri, artinya dia bisa melayani kebutuhan sendiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Untuk membentuk anak menjadi mandiri, bukanlah hal sulit, asal Anda telaten dn konsisten. Berikut ini kiat membentuk anak mandiri:
Awali dengan keterampilan mengurus diri sendiri. Mulai dari makan, menggosok gigi, dan memakai baju sendiri.
Berilah waktu untuk bermain bebas di mana mereka bisa mengembangkan idenya sendiri, sekaligus belajar menghibur dan menyibukkan diri sendiri.
Bertambah besar, mereka bisa membantu tugas rumah tangga seperti menyiram tanaman atau membuang sampah.
Bila semua berlangsung dengan baik, mereka sebaiknya dibiarkan mengatur waktunya sendiri dalam urusan sekolah dan pergaulannya. Orangtua hanya ikut campur bila mereka merasa sang anak melen ceng dari jalurnya.
Anak-anak harus diberi tanggung jawab dan dimintai pertanggungjawabannya bila mereka tak memenuhi tugasnya. Ini akan memberi perasaan penting dan mereka akan merasa bahwa orang tua mereka memercayai mereka melakukan tugas itu.
Kondisi badan yang fit dan kuat adalah bagian penting dari perasaan kompeten dan mandiri. Anak harus didorong melakukan olahraga dan kegiatan di alam terbuka.
Izinkan anak menentukan tujuannya sendiri, kecuali bila Anda merasa mereka memilih jalan mudah sementara Anda tahu benar kemampuan mereka jauh lebih tinggi.
Ingatlah selalu, Anda tak akan selalu berada di samping mereka, melindungi mereka saat meng hadapi cobaan dalam hidup mereka. Yang terbaik bantulah mereka menjadi orang yang mandiri.
Jadi, beberapa waktu lalu, kawan saya ikhma menyarankan untuk follow twitter @SuperbMother, berhubung saya udah emak2 yak 😛
Yaudah saya follow deh, lumayan, tiap hari ada kultwit berguna sekitar parenting dan pernikahan, hehe. Nah, ini ringkasan kultwit parenting style dari @SuperbMother itu. Saya posting di blog ini sih sebenernya buat saya sendiri, kalo lagi pengen baca2 tentang parenting lagi tinggal baca di blog deh, gak usah bingung2 nyarinya, hehe.
Jadi kultwitnya itu ngomongin tentang tipe-tipe pengasuhan menurut Diana Baumrind, psikologis ternama. Setelah saya googling, ternyata banyak referensi tentang ini, yaudah deh, semakin lengkap yang bisa ditulis :D.
Nah, menurut Diana Baumrind ada 4 tipe pengaasuhan yang sering dilakukan oleh orangtua. Kalo digambarin pake skema sih kaya gini gambarnya:
4 Parenting Styles
Yang pertama itu tipe pengasuhan AUTHORITARIAN (Pengasuhan Restriktif). Tipe pengasuhan ini sering juga disebut tipe pemaksa. Orangtua tipe ini punya aturan yang sangat ketat dan HARUS diikuti oleh anak-anaknya tanpa ada diskusi. Mereka juga cenderung memaksakan kehendaknya serta tidak mentoleransi adanya kesalahan kecil.
Authoritarian Parenting
Nah, sisi positif dari tipe ini adalah adanya aturan-aturan dan orangtua jadi punya kontrol penuh terhadap anak-anaknya. Tapii, kelemahannya justru di tidak adanya toleransi sikap tadi. Bisa-bisa anak jadi tidak terkontrol kalau di luar rumah, berhubung di rumah banyak sekali aturan yang mengikat. Anak juga bisa terlalu agresif atau terlalu malu di lingkungan sosialnya. Singkatnya, orangtua kurang responsiflah terhadap keinginan dan kepentingan anak, hiks.
Tipe kedua itu tipe AUTHORITATIVE. Tipe ini yang banyak disarankan dan yang dirasa paling pas dalam mendidik dan mengasuh. Kenapa begitu? Karena tipe ini memungkinkan adanya diskusi dan keterbukaan dengan anak tapi tidak meninggalkan aturan-aturan dan batasan-batasan. Malah aturan-aturan yang berlaku bisa jadi adalah hasil kesepakatan orangtua dan anak.
Authoritative Parenting
Jadi, dengan pengasuhan seperti ini, di dalam rumah selalu tercipta suasana demokrasi, selalu tercipta keterbukaan antar anggota keluarga. Sudah terbayang kan kalau tipe ini adalah tipe pengasuhan terbaik. Pengasuhan authoritative ini bisa membuat anak tumbuh jadi anak yang bertanggung jawab, percaya diri, dan bahagia.
Yang ketiga, tipe NEGLECTFUL (Uninvolved Parenting). Yang ini tipenya itu cueeek banget, gak peduli anaknya mau ngapain. Biasanya buat orangtua yang super sibuk, jadi sama sekali gak ada waktu buat anaknya. Atau bisa juga orangtua yang emang males 😛 Jadi, terkadang nonton TV lebih baik daripada ngurus anak, huhu.
Neglectful Parenting
Tipe yang kaya gini bisa mengakibatkan anak tidak punya kontrol akan dirinya. Jadi kebayang kan kalau di masyarakat akan seperti apa anak yang diasuh oleh orang tua tipe neglectful ini?
Terakhir, tipe INDULGENT (Permissive Parenting). Nah, kalo ini justru sangat-sangat terlibat dalam kehidupan anak. Tapii, kuraang banget aturan dan selalu mengikuti apa maunya anak. Tipe ini yang bisa mengakibatkan anak itu menganggap dirinya Raja dan harus selalu dituruti juga kurang menghargai orang tuanya dan orang sekitar.
Permissive Parenting
Jadi kalau disimpulkan:
Authoritarian -> Tinggi akan aturan tapi sangat kurang responsif
Authoritative -> Tinggi akan aturan, tinggi juga responsifitas orangtua terhadap anak.
Neglectful -> Rendah atau tidak punya aturan juga tidak responsif terhadap anak.
Indulgent -> Rendah atau tidak punya aturan tapi sangat responsif terhadap anak.
Nah, chirpstory-nya saya bikin ulang, soalnya yang asli urutannya tebalik, jadi bacanya mesti dari bawah. Jadi, saya bikin biar bisa dibaca dari atas, nih dia: http://chirpstory.com/li/46704. 😀