Al-Qur’an itu terlalu mulia kawan

Al-Qur’an itu terlalu mulia kawan

Terlalu mulia jika kau sanding dengan kesibukanmu..

Aku tuh harus bangun pagi. Hrs sekolah, ada ulangan, byk PR, tugas, huhu 🙁 . Waktuku itu gak ada jedanya pokoknya!

Jadi…. Al-Qur’an harus ngertiin kesibukanmu, begitu?

Al-Qur’an terlalu agung teman…
Terlalu agung jika kau bandingkan dengan target harianmu..

Hari ini skripsian 5 jam, ke perpus, trus mampir ke toko buku, baca jurnal bahasa inggris minimal 2 jurnal, ngikut seminar dan persiapan lomba debat. Aku tuh padet banget agendanya…

So what??

Al-Qur’an itu terlalu suci kawan…
Terlalu suci untuk kau balap-balap dengan mimpimu..

2 tahun ke depan harus mendapat beasiswa S2 di Jerman, pada tahun yang sama keliling 3 negara. Setelah wisuda menikah (berharap dapat suami/istri yang hafidz atau minimal punya hafalan agar bisa mengingatkanku untuk menghafal) dan 2 tahun kedepan pindah bersama keluarga ke Amrik. Mapan. Beli rumah. Beli BMW. Anak belajar disekolah internasional
(tak ada target dirinya pribadi untuk menghafal)

Sungguh!!

Meski tak kau baca, tak kau hafalkan, tak kau tadabburi apalagi tak kau amalkan, Al-Qur’an tak merugi!!
Tak terhinakan.
Sama sekali!!!

Hey! Tapi lihat…
Lihat siapa nanti yang kelak akan menangis tersedu..
Meraung-raung meminta dikembalikan dalam keadaan semula agar punya kesempatan membersamai Al-Qur’an..
Bermesra dengan Al-Qur’an..
Benar-benar menjadikannya sahabat..

Nanti….
Suatu saat nanti…
Di saat semuanya tak mungkin kembali lagi….
:'(

(Sumber: grup di WA dan Al-Quran)

*Nasihat yang sangat tepat ditunjukkan ke diri ini, astaghfirulloh.

Masalah Rizky

Bukan, postingan ini bukan postingan saya norak baru dapet rezeki, sama sekali bukan. Tapi, saya benar-benar kembali diingatkan kalau rezeki itu ya rahasia Allah, sama seperti jodoh dan kematian.

harta

Bangun pagi-pagi, blogwalking kemana-mana lalu tanpa sengaja menuju blog http://hanadoank.wordpress.com/ dan langsung terpaku dengan postingan paling atas.

Mungkin kau tak tahu di mana rizqimu. Tapi rizqimu tahu di mana engkau. Dari langit, laut, gunung, & lembah; Rabb memerintahkannya menujumu.

Allah berjanji menjamin rizqimu. Maka melalaikan ketaatan padaNya demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijaminNya adalah kekeliruan berganda.

Tugas kita bukan mengkhawatiri rizqi atau bermuluk cita memiliki; melainkan menyiapkan jawaban “Dari Mana” & “Untuk Apa” atas tiap karunia.

Betapa banyak orang bercita menggenggam dunia; dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka; tapi apa yang dinikmatinya.

Betapa banyak orang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya; demi angka simpanan gaji yang mungkin esok pagi ditinggalkannya mati.

Maka amat keliru jika bekerja dimaknai mentawakkalkan rizqi pada perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu urusanNya.

Kita bekerja tuk bersyukur, menegakkan taat, & berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita; Allah taruh sekehendakNya.

Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari Shafa ke Marwa; tapi Zam-zam justru terbit di kaki bayinya? Ikhtiar itu laku. Rizqi itu kejutan.

Ia kejutan tuk disyukuri hamba bertaqwa; datang dari arah tak terduga. Tugasnya cuma menempuh jalan halal; Allah lah yang melimpahkan bekal.

Sekali lagi; yang terpenting di tiap kali kita meminta & Allah memberi karunia; jaga sikap saat menjemputnya & jawab soalanNya, “Buat apa?”

Betapa banyak yang merasa memiliki manisnya dunia; lupa bahwa semua hanya “hak pakai” yang halalnya akan dihisab & haramnya akan di’adzab.

Banyak yang mencampakkan keikhlasan ‘amal demi tambahan harta dikata tuk bantu sesama; lupa bahwa ‘ibadah apapun semata atas pertolonganNya.

Inilah hidup kita; Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in; kita mengibadahiNya & memohon pertolonganNya agar mampu menyempurnakan ibadah padaNya.

Dengan itu kita mohon “Ihdinash Shirathal Mustaqim”; petunjuk ke jalan orang nan diberi nikmat ikhlas di dunia & nikmat ridhaNya di akhirat.

Maka segala puji bagi Allah; hanya dengan nikmatNya-lah menjadi sempurna semua kebajikan.

Salim A. Fillah

Pernah seorang sahabat memberi saya buku yang dikarang oleh Salim A. Fillah juga, “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” judulnya. Saat itu saya sedang galau dengan keadaan diri.  Saat itu saya seperti kembali mencari jati diri. Siapa saya? Saya hidup untuk apa? Siapa jodoh saya?.

Iya, saat itu saya memang sangat galau masalah jodoh. Bukan karena saya sudah terlalu tua untuk bisa menikah ~saat itu saya baru berumur 22 tahun~, hanya saja saya sedang patah hati dan terlalu berharap kepada manusia. Padahal seperti yang selalu saya baca dan dengar, berharap kepada manusia, kepada sesuatu  yang tidak kekal hanyalah membawa kegelisahan. Berharaplah pada Allah yang tidak akan pernah membuatmu sakit hati atau kecewa.

Buku dari sahabat itu seakan-akan mengingatkan saya kembali bahwa saya seorang muslim dan selayaknya seorang muslim, saya haruslah memberi manfaat.

Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta, rahmat bagi semesta alam

Saya kembali memaknai kebermanfaatan diri, mencoba menjadi orang yang lebih baik dan hanya berharap padaNya. Maka, saat itu, tanpa saya sangka, Allah menghadirkan jodoh untuk saya. Seorang suami yang sangat saya kagumi dan cintai. Ya, Allah memberi suami dan keluarga agar kebermanfaatan saya sebagai muslim teruji dengan mengurus mereka, berjihad dalam keluarga.

Sekarang? Saya kembali galau akan masalah lain, masalah rizky. Melalui tulisan itu, saya kembali diingatkan bahwa rizky itu sudah diatur olehNya. Dan kembali Allah memberi pengajaran kepada diri ini untuk selalu yakin kepadaNya dan hanya bergantung padaNya.

Bismillah.

Pilih Mana?

Jalanin dulu sambil menyempurnakan, atau cari tau dulu ilmu selengkap-lengkapnya baru menjalankan?

Kalau buat saya pribadi sih, buat ibadah saya pilih yang pertama, hehe. Kenapa begitu?

Kalau untuk ibadah kita harus cari tau selengkap-lengkapnya, kapan donk mau mulai menjalani? Lebih baik jalanin dulu sambil terus menerus menyempurnakan dengan ilmu.

Contohnya, memakai jilbab. Waktu dulu saya pertama kali memakai jilbab, apakah saya tau selengkap-lengkapnya mengenai islam secara mendetail? Enggak. Sekarang juga masih jauh dari sempurna sih tapi setidaknya sudah lebih baik dari waktu itu. Oiya, saya pertama kali pake jilbab itu sejak kelas 1 SMA dan alasannya karena ngikut kaka-kaka saya yang sudah lebih dulu pake jilbab.

Sekarang juga banyak ko yang berpendapat “kalau gak dimulai dari sekarang, nanti gak pake-pake”. Kalau menunggu siap hati dan sempurnanya ilmu, mau nunggu sampai kapan? Bukankah berjilbab itu kewajiban?

Oke, itu salah satu contoh aja. Intinya saya berpendapat kalau untuk ibadah, ya lebih baik dijalankan terlebih dahulu. Allah maha pemaaf. Jadi selama kita berniat kalau itu untuk ibadah benar-benar karenaNya, walaupun salah karena kita belum tau, Dia akan selalu memaafkan.

Tapi ketidaktahuan itu jangan selamanya dipelihara. Teruslah mencari tau apakah yang kita lakukan sudah benar atau belum. Maka dari itu sambil memulai ibadahnya, sambil menyempurnakan ilmunya.

Dari selalu belajar, kita jadi tau pertama kali menjalankan ibadah itu sudah benar atau masih salah. Kalau sudah benar Alhamdulillah, kalau salah ya dibenarkan 😀