Sekembalinya suami dari Solo beberapa bulan lalu, dia terlihat begitu berseri-seri tanda bahwa dia sangat senang. Salah satu alasannya sih karena tulisan untuk bukunya sudah berkembang pesat, walaupun masih menyisakan sedikit bagian yang akhirnya dikerjakan di Jakarta. Tapi ada hal lebih besar yang membuat dia sampai terlalu senang seperti itu. Dia sangat terpesona dengan kota Solo! Sampai-sampai dia mengajak saya untuk menghabiskan masa tua di sana kelak, huaah. Saat itu saya benar-benar penasaran. Ada apa ini? Kenapa dia sampai sebegitu terpesonanya dengan kota Solo?
Ketika saya tanya, suami menjawab karena Solo berbeda 180 derajat dengan jakarta. Mulai dari lalu lintasnya, suasana, makanan, sampai biaya hidupnya. Kesan tersebut didapat melalui perjalanan 3 hari 3 malamnya di sana.
Banyak makanan murah
Beberapa bulan lalu itu suami ke Solo dalam rangka menyepi dan mendapat ketenangan untuk menyelesaikan buku yang lama terbengkalai. Suami saya itu orangnya sangat mudah teralihkan pikirannya kalau mengerjakan sesuatu, jadi harus benar-benar sunyi atau sepi dan tidak melirik hal-hal lain baru deh bisa fokus menyelesaikan satu pekerjaan. Maka dari itu dia sangat bersedia saat diajak untuk mengejar deadline penulisan buku di Solo. Selama di sana, istilahnya itu dia work hard play hard.
Play hard-nya suami adalah wisata kuliner yang banyak, hahaha. Di sana suami dipandu oleh desainer grafis penerbit buku yang akan menerbitkan bukunya, Tiga Serangkai, yang secara kebetulan memang basecamp-nya di kota Solo. Dan dialah yang akhirnya menjerumuskan suami saya untuk makan buanyak selama di Solo 😛
Satu hal yang membuat suami sangat puas akan makanannya selain kepuasan akan rasanya, yaitu murah! Bayangkan saja, makan nasi liwet bisa habis 3 piring saking enak dan murahnya. Seumur-umur saya belum pernah melihat suami makan sampai 3 piring begitu di satu jam makan kecuali makan makanan yang saya masak, hihi *narsis*. Tapi bisa gawat juga nih kalau kelamaan disana, suami nanti bisa gwendud karena makan melulu, hahaha. By the way, banyak makanan enak dan murah ini lah yang membuat suami akhirnya jatuh hati pada kota Solo.
Biaya hidup tidak setinggi Jakarta
Karena makanannya murah itu suami berpikir kalau biaya hidup di Solo juga lebih murah daripada di Jakarta. Yaa, di Jakarta 1 kali makan mungkin bisa menghabiskan setidaknya 30 ribu, 15 ribu kalau lauknya standard, tapi kalau di Solo 15 ribu saja sudah bisa mendapat makanan yang enak.
Lagipula, sahabatnya di Solo juga membenarkan pemikirannya tersebut. Beliau tadinya juga hidup dan menetap di Jakarta sampai akhirnya pindah ke Solo beberapa tahun lalu karena tugas pekerjaan. Nah, beliau bercerita kalau di sana segala kebutuhan hidup ya memang murah, jadi hidup bisa lebih enak karena tidak terlalu memusingkan kebutuhan yang muahal. Ini dia nih yang akhirnya membuat suami sangat bersemangat mengajak saya untuk menghabiskan masa tua di Solo.
Lalu lintas lengang
Walaupun suami diajak berwisata kuliner di setiap jam makan setiap hari, suami tetap bisa bekerja sesuai jadwal dan tidak terlambat. Itu karena lalu lintas di Solo lengang dan tidak ada kemacetan yang berarti. Coba saja di Jakarta, mau berwisata kuliner pasti mencari waktu setelah pulang bekerja atau di weekend sekalian agar waktunya tidak dihabiskan di jalan saja alias terkena macet! Iya, di Jakarta hampir setiap hari macet, sampai-sampai banyak orang bilang bisa parkir gratis di jalanan, hahaha.
Saya pernah menghabiskan total 7 jam di luar rumah dengan hanya 1 jam berada di tempat yang dimaksud. 6 jam sisanya? Saya habiskan untuk di jalan karena hampir sepanjang hari macet! Sangat membuang waktu kan?
Karena lalu lintas yang lengang ini suami sampai sempat berkunjung ke Lodji Gandrung, rumah dinas walikota Solo. Lalu lintas yang lengang ini yang membuat suami kemudian lebih jatuh hati lagi pada kota Solo.
Suasana tenang
Lalu lintas yang lengang tadi membuat suasana di kota ini sangat tenang, tidak terkesan diburu-buru waktu. Semua terkesan santai. Ini yang paling berbeda 180 derajat dengan Jakarta. Di Jakarta kesannya semuaa orang mau buru-buru, dikejar waktu katanya. Alasannya, kalau tidak cepat-cepat, akan terkena macet dan malah terlambat nantinya.
Suasana tenang ini juga yang menyebabkan suami sangat enjoy mengerjakan pekerjaan menulisnya di sana. Dari 300-an halaman bukunya, hampir 50%-nya berhasil dikerjakan di kota Solo selama hanya 3 hari karena berhasil mendapat ketenangan yang berarti. Walaupun sisa tulisannya dikerjakan di Jakarta, tetap saja dia tidak mendapat ketenangan seperti di Solo katanya.
Saya sendiri sih belum pernah merasakan bagaimana enaknya kota Solo ini. Seumur-umur saya juga gak pernah kepikiran untuk tinggal di kota lain selain di Jakarta dan sekitarnya. Sejak beberapa tahun lalu saya malah kepikiran untuk bisa tinggal di kota Depok yang masih berada di sekitar Jakarta. Kota Depok kan masih bisa ditempuh 1 jam saja dari Jakarta, 2 sampai 3 jam kalau terkena macet. Jadi, untuk bisa sering berkunjung ke rumah orangtua dan teman-teman saya di Jakarta ya masih bisa sering-sering laah. Kalau di Solo? Jauuuh, saya jadi tidak bisa sering-sering berkunjung ke rumah orangtua, saudara, dan kawan yang ada di Jakarta kalau begitu, huhu.
Ya mungkin saja nantinya saya akan berubah pikiran. Siapa yang tau akan masa yang akan datang kan? Sekarang saja, dari paparan suami kok ya bikin saya sedikit jatuh hati juga, walaupun saya masih harus berpikir lagi sih untuk bisa menghabiskan masa tua di sana seperti keinginan suami. Semoga saja hati saya bisa terbuka untuk akhirnya memenuhi keinginan suami itu, hehehe.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog kesan tentang Solo