Saya dan suami dalam menyambut Lebaran dan mewarnai hari kemenangan itu harus adil. Apa tuh maksudnya adil? hee. Begini, sejak menikah, saat lebaran, saya sudah tidak bisa lagi merayakannya bersama keluarga saya karena harus ikut dengan keluarga suami. Biasanya sih mudik ke Semarang berhubung nenek suami Alhamdulillah masih sehat dan berdomisili di sana.
Tradisi di keluarga suami adalah berangkat mudik setelah merayakan Lebaran terlebih dahulu di Jakarta. Tepatnya berangkat mudik di malam hari Raya Idul Fithri agar tidak begitu penuh, setidaknya arus mudik tidak terlalu padat. Berhubung beliau mudik dengan mobil ya, jadinya lebih enak macet-macetan di malam hari katanya dibanding siang hari, puanass euy 😀
Tapi, begitu ada Naia, papa mertua jadi memutuskan untuk mudik dengan kereta saja setiap tahun dan berangkat H+1 Lebaran. Nah, saya jadi berpikir “Bagaimana kalau saya menghabiskan beberapa hari terakhir Ramadhan di rumah orangtua saya saja ya biar adil?”. Sepertinya sih sempat, karena saya berpikir bisa langsung berkumpul bersama keluarga suami selepas sholad Ied di rumah orangtua. Akhirnya selama 4 tahun kami bersama dan melewati 5 kali Lebaran, begitu deh yang kami lakukan, menghabiskan hari-hari terakhir Ramadhan di rumah orangtua saya, sholat Idul Fithri dan sungkeman dengan keluarga saya, baru deh menuju rumah mertua untuk siap-siap mudik 🙂 Continue reading “Warna-warni Kemenangan: Kumpul Keluarga & Silaturahmi”